Sebagian kelompok masyarakat heboh lagi. Bukan karena mereka memergoki ada anggota DPR tertidur saat sidang soal rakyat. Bukan mendengar isu banyak kondom di gedung DPR. Bukan melihat banyaknya kursi kosong saat sidang. Bukan pula terkejut ada anggota DPR kedapatan korupsi. Bagi rakyat awam, semua itu sudah biasa sejak dulu.
Dalam ilmu antropologi, hal yang sudah biasa cenderung menjadi tradisi. Selanjutnya tradisi akan membentuk budaya. Kebudayaan merupakan suatu wujud karya adiluhung sebagai manusia pembelajar untuk membentuk peradaban. Setiap komunitas baik itu kelompok masyarakat atau bangsa "dituntut" untuk bangga memiliki budaya karena budaya merupakan salah satu petanda yang membedakan manusia unggul dibandingkan dengan mahluk lain yang bukan manusia.
Ketika sebagian besar rakyat sudah mampu menerima tidur, isu kondom, kursi kosong dan korupsi sebagai hal yang biasa di DPR maka rakyat dan DPR telah "membangun konsensus" yang mengarah pada pembentukan "budaya" milik bersama.
Kalau pun masih ada sekelompok masyarakat kritis (pengamat politik, LSM, akademisi, mahasiswa, dll) mempermasalahkan hal itu kiranya perlu disadarkan bahwa mereka hanya sebagian kecil orang dibandingkan 257 juta rakyat Indonesia yang sudah menganggap lumrah dan tak lagi mempermasalahkannya.
Lihat saja, kalau 257 juta rakyat mempermasalahkannya maka sejumlah itu pula yang akan mendatangi DPR, bukan? Kenyataannya tidak terjadi. Bagi rakyat, tidur di kursi, kondom, kursi kosong dan korupsi adalah juga bagian keseharian mereka, dan bukan semata domain DPR.
Sampai sekarang rakyat hidup tenang menjalankan talenta dan profesinya. Lihat saja, para pemain bola profesional tetap penuh semangat bertanding di kompetisi liga Indonesia. Para petani tetap tenang bekerja sambil bersiul hingga giginya kering di sawah dan ladang. Para nelayan berbasah ria hingga menggigil karena sibuk menjala ikan. Para buruh tetap tekun dan tertekan bekerja dengan juragannya.
Pun para pegawai tetap tenang baca koran di kantor. Para pedagang tetap teliti menghitung rugi/laba. Para emak-emak rumah tangga tetap santai nonton sinetron dan infotainmen atau saat naik motor tetap percaya diri menyalakan sein kiri tapi beloknya ke kanan. Para bandar judi Togel tetap pro-aktif berteman dengan aparat sambil mengatur nomor yang akan keluar. Para PSK tetap cekatan dan bergairah menggoyangkan pinggulnya.
Apa lagi? Semua berjalan biasa-biasa saja, tak ada gejolak besar mempersoalkan tidurnya anggota DPR, kondom, kursi kosong, skandal korupsi dan lain-lainnya. Hal itu artinya sudah ada keseimbangan alamiah guna terciptanya budaya adiluhung dari gedung DPR tersebut. Budaya itu kemudian jadi milik seluruh rakyat dan bangsa ini.
Lalu, kini ditengah ketenangan tiba-tiba sebagian kecil kelompok masyarakat kritis bikin heboh lagi. Penyebabnya adalah revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang disahkan DPR pada Senin, 12 Februari 2018. Mereka ciptakan sejumlah persepsi negatif dan reaksi keras terhadap undang-undang itu.
Ada yang beranggapan pasal 122 terkait tugas MKD sebagai bentuk kriminalisasi oleh DPR terhadap suara rakyat yang kritis. DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal hukum. Pasal tersebut menempatkan Mahkamah Kehormatan Dewan punya wewenang mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pihak DPR melakukan pembelaan, dalam pandangan mereka pasal itu bukan untuk membatasi masyarakat mengkritik kinerja DPR, namun untuk menjaga martabat DPR sebagai lembaga negara. Salahkah DPR menjaga martabatnya sebagai lembaga terhormat di negeri ini? Tidak salah. Perlu diingat pada pertemuan resmi tugas ke-DPR-an dengan pihak mitra kerja (lembaga lain), anggota DPR (harus) dipanggil atau disebut "yang terhormat" oleh pihak mitra kerjanya.