Polemik di kanal "Terpopuler" terkait jumlah "View" sudah selesai. Lembaran baru dimulai lagi di Kompasiana. Ibarat rumah tangga yang penuh prahara didalam ditambah serangat fitnah datang bertubi-tubi dari luar kini sudah sirna. Era baru telah mulai, kebahagian ada di depan mata. Tinggal mau atau tidak menikmatinya.
Beberapa waktu lalu sejumlah Kompasianer mempermasalahkannya, baik dalam artikel khusus atau pada kolom komentar. Hal itu sempat menjadikan kolom "Terpopuler" menduduki tahtanya sebagai polemik "terpopuler" mengalahkan #BanjirJakarta.
Tadinya saya mengira polemik "Terpopuler dan View" akan berhenti dengan sendirinya, atau tenggelam oleh banjir, tapi ternyata perkiraan itu salah. Sampai akhir Minggu kemarin pembahasan polemik itu masih berlanjut.
Bermula dimotori oleh Kompasianer Lohmenz Neinjelen-seorang aktivis dari CPS (Center of Popular Studies) sebuah lembaga kajian strategis tentang popularitas di Kompasiana. Ada juga Kompasianer Yon Bayu (YB) seorang korban "terpopuler" yang memberikan kesaksiannnya dihadapan MKP (Mahkamah Konstitusi Populer).
Sebagai korban, Yon Bayu merasakan kerugian materil dan spirituil yang sangat besar sehingga beliau sempat dirawat di rumah sakit Terpopular dan dibawah pengawasan lembaga perlindungan korban Terpopuler. Kini dia menjadi aktivis Terpopuler Perjuangan secara independen.
Selain itu ada Kompasianer Ikhwanul Halim (IH) yang sempat disorot sehingga kanal Terpopuler jadi polemik. IH sudah melakukan klarifikasi lewat tulisan dan komen. Dan saat itu posisi IH justru menjadi korban polemik kanal Terpopuler.
Kompasianer Posma Siahaan yang biasanya menulis kesehatan pun menjadi gatel untuk mengangkat soal Terpopuler khususnya tombol F5. Dia menulis fiksi yang menyindir kanal Terpopuler, alasannya dengan fiksi lebih lembut daripada pembalut.
Hal yang menarik, kompasianer Rony Noor yang termasuk Kompasianer serius, fokus, jarang tersenyum apalagi marah-marah dan selalu adem ayem "tak perduli skandal" di Kompasiana ikutan berbicara. Karena polemik Terpopuler itu kemudian beliau menyarankan kanal Terpopuler sebaiknya dihapuskan.
Saran beliau cukup menohok ulu hati. Bukan apa-apa, panggung Terpopuler sangat bergengsi. Siapa pun yang bisa meraih tangga tertinggi terpopuler hampir dipastikan akan jadi kaya raya, bahagia, dipuja lawan jenis, dan bakal masuk surga. Siapa yang tidak ingin? Kalau Terpopuler dihapus, apa kata dunia Terpopuler?
Saya percaya, para Kompasianer yang nyaring bersuara memprotes adalah orang-orang yang sebenarnya sangat cinta Kompasiana. Melihat hal itu, saya dengan kawan-kawan kerja sangat terharu. Kami sampai menangis tersedu-sedu, sebagain rekan terlentang dan berguling-guling di lantai kantor.
Saya juga percaya, Kompasianer yang cuma diam-diam pun cinta Kompasiana. Terbukti dalam berbagai tulisan "protes" selalu banyak pembacanya. Jumlahnya sampai ribuan hingga jutaan!