Kini nama Setnov (Setya Novanto) makin akrab di telinga publik. Siapa yang tak kenal nama Setnov? Jangan mengaku jadi netizen atau orang berwawasan. Buang saja smartphone Anda, jual saja laptop atau tutup televisi dengan celana Anda... Heu heu...!
Sosok seorang Setnov selalu mampu jadi Hot News di negeri ini pada momentum "yang tepat" ketika beragam isu aktual kenegaraan, kebangsaan, debat ideologi dan bahkan gaya hidup berada di arus utama mata, telinga, bibir dan jari-jari lentik publik. Momentum Setnov itu kemudian berkembang menjadi "entitas pengadilan tersendiri" bagi publik --sementara Setnov sebenarnya bukanlah orang lain di dalam perayaan publik di mainstream isu-isu aktual tadi. Dia merupakan bagian para pelaku "pembangun negeri" ini melalui jabatan politis yang disandangnya. Momentum itu pula menjadikannya sosok Setnov diperhitungkan kawan dan lawan politiknya.
Dua Entitas Pengadilan
Entitas pengadilan menempatkan publik di posisi "hakim ex officio" pengetuk palu vonis Setnov sebagai pihak bersalah dan harus dihukum. Uniknya, entitas pengadilan publik nyatanya berjalan sendirian namun pararel dengan pengadilan nyata Pengadilan Negeri. Hasilnya pun berbeda. Padahal, hakim di ruang pengadilan selalu orang yang berbeda di setiap (dugaan) kasus Setnov. Sedangkan "hakim publik" selalu sama dari waktu ke waktu --berstatus "status quo" (tak berubah).
Sebelumnya mungkin perlu diingat kembali, Setnov bukan kali ini saja berurusan dengan pengadilan. Sejak "belum jadi terkenal" seperti sekarang hingga kini menduduki posisi puncak di parlemen dan parpol besar, Setnov sudah beberapa kali diduga terlibat kasus besar. Tercatat Setnov lolos di 7 kasus besar, yakni Cessie Bank Bali (1999), Beras Vietnam (2003), Limbah B3 (2006), Proyek PON Riau (2012), Papa Minta Saham (2015), Kode Etik DPR saat bertemu Trump (2015), dan yang sekarang kasus E-KTP (2017). Dia selalu menang di "pengadilan resmi", bukan di jalanan! Pelajaran apa yang bisa ditarik dari rangkaian kemenangan itu?
Kalau ruang Pengadilan Negeri dan hakimnya selalu tidak sama pada kasus-kasus dan waktu yang berbeda tentunya akan menghasilkan putusan yang "relatif" obyektif. Tim Hakim (selalu) tidak sama---yang bisa menjadi indikator menuju hasil keputusan adil. Kalau hakim kasus A di tahun tertentu menyatakan tidak bersalah, maka oleh hakim B di lain waktu dan kasus bisa saja Setnov mendapat vonis bersalah. Tapi nyatanya hakim yang berbeda-beda tetap menghadirkan keputusan; Setnov tidak melanggar kode etik, tidak bersalah atau tidak terlibat kasus!
Sementara di jalur rel lain yang paralel tadi--dimana publik sebagai hakim "ex officio yang status quo" keputusan tetap sama ; Setnov dinyatakan bersalah dan dihukum secara sosial dengan beragam cemooh, hujatan, makian dan lain-lain dan bentuk verbal---literal dan visual.
Pertanyaannya, Siapa yang tidak adil ; seorang (tim) Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim Publik (massa)? Kenapa hakim publik selalu menyatakan Setnov bersalah, sementara materi keputusan mereka hanya berdasarkan kabar sana-sini? Adakah pihak lain yang berperan membantu menciptakan keputusan "hakim publik"?
Setnov Petarung Handal
Seorang Setnov merupakan petarung handal dalam menjalani nasibnya sebagai orang politik --sebuah ruang nasib yang absurd bagi sebagian orang yang bermental tanggung. Setnov bukan orang bermental tanggung seperti itu. Dunia politik berwarna abu-abu. Tidak ada kawan sejati di sana, namun musuh abadi banyak. Ini yang---suka atau tidak suka---membuat Setnov dalam kondisi dan situasi tertentu bisa salah atau dipersalahkan. Kalau pun benar, masih bisa dipersalahkan terkait dinamika atau persaingan politik. Dan, Pengadilan Negeri merupakan ruang baginya untuk melakukan pembuktian "kebenaran dan kesalahan"dan pemenangan kebenaran secara hukum. Sah? Sah!
Rangkaian "kasus besar" dihadapinya di ruang pertarungan resmi, yakni gelangang pengadilan. Setnov bukan orang yang memiliki basis politik massa militan yang mampu menggerakkan jutaan orang untuk membela kasusnya. Setnov bukan orang cengeng dan penakut yang lari ke luar negeri setelah itu melemparkan "propaganda politis" ke rakyat dalam negeri untuk mengaburkan masalahnya sendiri.