Jokpin memang luar biasa. Bikin Mabuk. Itu orang bikin "itu barang" yang semula bikin mengkerut jadi renyah dinikmati, bahkan lebih lanjut "memudahkan" orang untuk belajar. Itulah yang saya dapatlan sementara ini saat "Mabuk Jokpin-isme" dalam mengolah diksi. Saya berharap, anda pun ikutan mabuk dan bisa menjadi kawan sependiritaan dan suka cita dalam mabuk fiksi bareng. Ingat! Mabuk rame-rame itu lebih ber-mang-paat daripada mabuk sendiri. Setidaknya, saat sempoyongan ada orang mabuk lain yang bisa jadi bantalan kasur saat kita roboh. Hahahaha! Soalnya, nggak mungkin sesama mabuk saling menopang, bukan?
Kembali sola Jokpin (Joko Pinurbo). Saya baru mengenal nama Jokpin dari tulisan-tulisan S. Aji--pendekar Fiksi di Kompasiana ini. Dia nampaknya kagum dengan tulisan fiksi si Joko Pinurbo (Jokpin). Dari situ saya coba lihat siapa Jokpin itu lewat terwangan mbah Google. Dan ndilalah, Kompasiana menjadikan Jokpin salah satu Tamu Kehormatan dalam acara Kompasianival2017 (lihat ini). Bahkan, ada event Menulis Fiksi (prosa-puisi) pendek sebagai Pra Event (lihat ini).
Dengan cara berpikir politis abal-abal, saya menduga, kompasianer S.Aji telah mempengaruhi "ideologi" menulisnya ke jajaran Kompasiana! Heu heu heu...! Dan saya pikir, momentumnya tepat! Yakni, membawa angin baru sekaligus role model berliterasi (halaah...istilah apaan tuh! Heu..heu).
Saya bukanlah kategori penulis Fiksi, melainkan penulis Hermaprodite, penulis kanan-kiri-atas-bawah Oke, pemangsa segala (Omnivora) di samping menjabat sebagai lelaki pemalu yang khusuuk dan tabah. Sesuai semboyan menulis saya : "Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat..." maka saya tak malu melongok siapa dan apa yang dibuat Jokpin.
Salah satu event dari agenda Pre Event Competition Kompasianival2017 adalah "Sharing Session Sastra" yang melibatkan Joko Pinurbo dan Eka Kurniawan---dua orang sastrawan berprestasi. Dalam salah satu even dilombakan Kompetisi menulis puisi/prosa pendek di media sosial Twitter.
Saya kemudian ikut competisi itu. Akun twitter saya pebrianov@twitter.com yang lama menganggur karena tak tahu mau nulis apa di "sirkuit" yang pendek itu akhirnya bisa terisi. Awalnya saya memang tidak terlalu suka "yang pendek" itu. Saya pikir "Gak enak barang tu" untuk menyampaikan sebuah pemikiran. Mending nulis artikel di Kompasiana, bisa puas, puny yang panjang dan tahan lam-- didebatkan. Namun setelah ikut-ikutan kompetisi Pre Event Competition ber-hastag "SastraKompasianival" barulah saya "sedikit nganu". Dan hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam urusan 'tulis-menulis'
Untuk menulis pendek ternyata memang tidak mudah, kawan. Jadi jangan sepelekan barang pendek. Ingat, Pele saja tidak sependek yang kita bayangkan. Tingginya 173cm, lho...hampir sama dengan Raisa! Heu heu...
Menulis pendek butuh perenungan dan keahlian menemukan kata dan meramunya menjadi kalimat. Jadi suatu 'Frasa' fiksi yang penuh makna dan dramatik. Untuk mencapai 'Pendek' itu butuh perjuangan panjang. Sungguh, mirip menemukan rumus matematika atau fisika. Ada proses empiris yang ribet sehingga akhirnya jadi sebuah teori fiksika atau rumus matematika. Kalau dalam politik atau humaniora, proses panjang akan menghasilkan "Canon" atau "Diktum" yang jadi pegangan dalam melihat fenomena sosial-politis-filsafat-budaya, dan lain-lain. Begetooh lah kira-kira "nganu"-nya.
Sebelum nyemplung kompetisi, saya pelajari dulu sejumlah karya-karya Jokpin lewat mbah Google. Setiap karyanya saya baca. Pelajari cara dia meramu kata,membentuk atau mencipta makna dan kemudian menciptakan roh bagi setiap karyanya tersebut. Dan saya pikir ini merupakan hal baru bagi saya. Karena sebelumnya saya "hanya taunya" penyair Joko yang lain---yakni : Sapardi Djoko Damono, kemudian sastrawan Gunawan Muhamad, Sitor Situmorang, Remy Syilado, atau pun Chairil Anwar. Karya-karya mereka pun saya baca sepintas saja karena masih nganu dan "belum ngeh barang tu".
Dari sekian banyak penulis sastra, saya cuma punya dua buku yakni tentang Kahlil Gibran! Hadoooh..heu heu..heu..yang bisa saya baca berulang. Maklum saja, saya kan Hermaprodite. Dalam bayangan saya, puisi atau prosa itu sebuh rangkaian kata puitis yang panjang, mendayu, dramatik, romantis, dan lain-lain. Dengan begitu, pembaca akan larut, meleleh, termehek-mehek. Pokoknya nganu lah...heu heu..
Berbeda halnya dengan Jokpin. Saya tidak lelah menikmati karyanya. Karena pertama ; Pendek. Jadi udah Nganu duluan. Sehingga saya mau menelusuri semua sampai habis. Ini hal yang baru bagi saya untuk mau "tengok-tengok agak dalam" dunia puisi satrawan terkenal. Dari situ saya coba belajar "berkata-kata"--walau sangat tidak mudah. Butuh keleluasaan berpikir dan keluasan wawasan---khususnya kepemilikan kata, analogi, metaphora, dan lain sebagainya yang ternyata menyadarkan bahwa bahasa Indonesia itu sangat perlu dan kaya akan kata!