Kalah itu menyakitkan hati. Bikin tak enak makan, tak nyenyak tidur, tak konsen baca Kompasiana, tak asik pacaran. Rasanya ingin marah terus, tapi kalau keterusan bakal dikira gila, siapa yang rugi? Kalah itu bikin sedih. Bikin patah hati. Kalah bola lawan Malaysia kali ini lebih menyakitkan dibandingkan saat ditinggal Raisa tunangan dan kawin sama Hamish Daud, bettoll? Heu heu heu!
Kata Iwan Fals dalam lagunya 'Bongkar' ; "kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan" # eehh...ada hubungan sama bola, nggak sih? Heu heu heu...aawuuuooo...ammpun dewaa celana!
Terserah cara pandang pembaca menilai tulisan ini. Mungkin dianggap sekedar cari-cari penghiburan? Tak apalah. Kata Mukidi-penasehat spiritual saya-kalau seseorang mampu menghibur diri sendiri maka orang tersebut masih waras. Masih mampu pakai celana dengan baik dan benar. Dan semoga juga mampu menghibur banyak orang. Kalau bukan kita sendiri siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ayoo kerja..kerja! Heu heu...
Satu hal yang pasti, ini bukan cari-cari alasan atas kekalahan Timnas kita. Bukan pula cari kambing hitam. Kalah adalah kalah, sementara kambing hitam tak ada diantara kekalahan itu. Kambing masih bersama para penjual kambing untuk hari raya kurban minggu depan. Titik.
Semifinal sepakbola antara Indonesia vs Malaysia kemarin bukan mencari point dalam sistem penyisihan grup-kompetisi, dimana yang kalah kehilangan point sedangkan yang menang dapat point dan keduanya punya kemungkinan bertemu lagi di lain pertandingan dalam satu event. Laga kemarin bukan pula satu babak "kematian" pada sistem gugur turnamen, dimana tim yang kalah "dipaksa" angkat koper untuk pulang tanpa hasil.
Laga keduan negara serumpun dan bertetangga itu telah usai. Hasilnya, Malaysia menang dan maju ke babak Final. Sementara Indonesia "maju" ke laga berikut di babak final juga. Hanya bedanya, Malaysia masuk Final lawan Thailand demi medali emas, sedangkan Indonesia masuk 'final' lawan Myanmar demi medali perunggu. Dalam dunia profan, kedua macam medali itu berbeda gengsinya. Namun dalam dunia sakral, Tuhan punya penilaian tersendiri. Apa penilaian Tuhan? Jangan tanya karena saya masih pelaku di dunia profan. Hak hak hak!
Laga kemarin adalah laga emosional. Namun itu tak berarti emosi yang merusak jiwa olahraga. Justru sebaliknya, telah terbangun dan terjaganya emosi positif kedua tim, termasuk para official dan penonton.
Bila anda menyaksikan pertandingan itu di layar televisi atau nonton langsung di stadion di Malaysia, terlihat para pemain kedua tim mampu tunjukkan jiwa-jiwa olahraga. Para pemain tersebut fokus pada permainan. Mereka berlari dan saling berkejaran untuk bola bukan untuk menebas kaki lawan sampai cid dan merobohkan tubuh tanpa bola.
Hampir tidak ada pemain yang saling dorong dengan mata beringas dan makian untuk tawuran. Tidak ada kartu merah dan minim kartu kuning wasit. Mereka bertarung, namun tidak berkelahi. Mereka berbenturan fisik, namun tidak saling bertinju. Kalaupun ada pelanggaran lebih kepada teknis sepakbola.
Secara keseluruhan, pertandingan sangat menarik. Kedua tim bermain hati-hati namun penuh semangat. Karakteristik bermain kedua tim terlihat sebagai sajian indah laga tersebut. Pertandingan pun berjalan apik dan bersih.
Ketika laga usai, sejumlah pemain Indonesia menangis karena kalah, Pemain Malaysia datang menghibur dan memberi pelukan. Suasana kemenangan dan kekalahan menyatu dalam sebuah drama milik bersama. Momen itu sungguh mengharukan. (Lihat foto-foto berbicara).