Pernah aku bertanya pada gelap dan terang, bolehkah aku membangunkan mimpi?
Keraguan mendera. Antara keinginan dan kesadaran bahwa mimpi itu milik tidur. Dan gelap-terang adalah sahabatnya. Aku hanya pelintas yang kerap disuguhi lompatannya. Maka, satu kali kucegat mereka di sudut renung untuk bertanya.
Bolehkan aku bangunkan mimpi?
Mimpi tak punya tempat yang besar. Mimpi hanya seluas kelopak mata. Ketika terkatup maka bertemulah padanya. Tapi kenapa begitu sulit meraih mimpi? Untuk menyentuhnya pun selalu terhalang layar besar namun terang dan lembut. Dibalut dan diikutinya tanganku bergerak. Aku berusaha keras hingga terengah-engah dan lelah. Tapi tak pernah jariku sampai menyentuh tubuh. Disisakannya jarak sekian senti.
Begitu sombongkah mimpi, atau justru takut padaku? Mungkinkah aku dianggapnya terlalu kotor untuk menjejak di lantai rebahnya?
Pernah aku membenci tidur. Kutolak mentah-mentah tawaran lelap untuk berdamai. Kukira tidur telah menghalangiku dekat pada mimpi. Dia tahu hasratku bangunkan mimpi. Untunglah ada waktu datang dan berbisik padaku. Didamaikannya pada tidur dan aku pun bersahabat pada lelap. Saat itulah aku begitu dekat dengan tidur, namun tak pernah mampu kusentuh mimpi, apalagi membangunkannya.
Aku tetap tak mau henti bergerak dan bertanya, bolehkah bangunkan mimpi untuk temanku berjalan dari terang hingga gelap?
-----
Peb.16/07/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H