Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Menulis Tanpa Emosi, Mungkinkah?

Diperbarui: 17 April 2017   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menulis merupakan proses transformasi budaya gagasan ke dalam wujud fisik. Dari wujud abstrak (ide) ke wujud fisik (artikel). Diantara keduanya ada sistem sosial yang menuntunya, Apa itu? Ya segala aturan dan relasi sosial yang ada antara si Penulis dengan sistem sosial yang melingkupinya. Dalam hal ini sistem sosial yang terbangun di Kompasiana. Jadi menulis artikel Kompasiana itu juga merupakan wujud kebudayaan. Saat saya menulis di Plaza-Pedestrian itu, saya sedanag 'berbudaya'. Heuheuheu..!

Saat menulis, dari gagasan ke aktifitas karya itu melibatkan emosi atau perasaan. Kalau tidak ada emosi tentu ide atau gagasan tidak bisa mengalir lancar menjadi artikel. Selain itu, tulisan sebagai karya fisik budaya tidak menghasilkan emosi bagi penikmatnya. Ketika sebuah karya tulis melibatkan emosi, maka karya itu hidup, kemudian menghidupkan pula emosi pembacanya.

Salah Kaprah Emosi dan Marah

Umumnya kita di keseharian sering salah kaprah. Emosi diangap sama dengan Marah. Padaha Emosi tidak sama dengan Marah.

Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi juga merupakan reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Didalam emsosi ada 'Anak kandung-nya yakni ; Marah, Takut, Senang, Cemas, dan lain-lain yang menyangkut psikologis-suasana hati.

Sedangkan pengertian 'Marah' menurut kamus kbbi diartikan "sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan sebagainya), berang; gusar. Wujudnya 'mengeluarkan kata-kata menunjukkan rasa marah'.

Jadi jelas bahwa emosi bukan berarti marah. Kalau menulis memang butuh emosii (suasana hati) sebagai bagian dari menciptakan 'nyawa atau jiwa' tulisan.

Tulisan yang penuh kemarahan bisa terlihat dari sejumlah tanda baca yang digunakan, cara menulis, pemilihan kata, penyusunan diksi, dan lain-lain. Pada umumnya tulisan yang memuat 'kemarahan' akan terlihat dari hal-hal tersebut secara berulang yang membentuk pola 'kemarahan'.

Sebaiknya untuk konsumsi publik hindari penciptaan tulisan yang memuat kemarahan. Karena 'ibu kandung Marah' secara otomatis akan membangun emosi terhadap pembaca atau penikmat tulisan tersebut secara linear hal yang sama, yakni Marah. Akhirnya tulisan kemarahan hanya menghasilkan kemarahan pembaca.

Kalau tulisan sudah memuat marah-marah bisa runyam. Suasana yang tercipta pun bikin tidak enak suasana hati. Nah, karena artikel yang saya buat di plaza tersebut dalam suasana hati senang di pagi hari cerah dan segar, maka saya berharap pembaca pun jadi senang dan cerah. Kalau kemudian ada pembaca mengartikan sebuah tulisan emosi merupakan tulisan marah sebaiknya melihat dulu diri sendiri, apakah sedang dalam suasana marah atau tidak. Kalau sedang marah, apapun yang dibaca seperti sedang marah. Bukankah begitu implementasi nyata teorinya?

Jangan takut menulis dengan emosi. Pesan Mukidi, penasehat spritual saya, "Menulislah dengan Emosi tapi jangan marah karena bisa cepat tua". Kalau cepat tua, anda bisa cepat Nganu....heuheuheu! "

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline