Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Adu Kreatif Kampanye Ahok, Anies, dan Agus

Diperbarui: 19 Februari 2017   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : www.sindosatu.com

Pilgub DKI kali ini diharapkan bukan hanya adu tampang dan deretan gelar akademis para kandidat gubernur. Sebagai Pilkada yang jadi baromoter banyak daerah lain di Indonesia, model kampanye para Cagub DKI ditunggu masyarakat luas. Seberapa unik dan menarik cara mereka berkampanye resmi di tengah masyarakat Kosmopolitan Jakarta.

Setiap calon tentu punya strategi dan bentuk kampanye agar mampu 'menjual' program kandidatnya. Selain memperkenalkan program kerja, secara tidak langsung setiap Cagub akan saling adu konsep kampanye. Muatan di dalamnya bukan hanya pesan politik, namun juga menampilkan bentuk kreativitas tim pengusung dalam mendekati dan mengambil hati masyarakat DKI.

Di sisi lain, Jakarta dianggap sebagai tren setter banyak halnya di Indonesia. Hajatan Pilkada DKI menjadikan Kampanye cagub berpotensi jadi tren setter baru dan 'baku'. Apa yang tersaji akan jadi 'tontotan' dan pembelajaran politik masyarakat Indonesia secara luas.

Salah satu contoh bagian kecil kampanye yang pernah 'diciptakan' dan jadi tren saat Pilkada DKI tahun 2012, yakni pakaian kotak-kotak pasangan Jokowi-Ahok. Dress code itu nampak sederhana, namun mampu menjadi tren berpakaian di masyarakat luas. Ada juga model kampanye dengan cara blusukan ke kantong-kantong permukiman warga dan kegiatan ekonomi masyarakat kelas bawah. Gaya kampanye ini dahulu belum terlalu populer.

Model Kampanye Masa Lalu Masih Diminati?

Ada beberapa model kampanye ruang terbuka pada masa lalu (sejak jaman Orde Baru) dan masih digunakan hingga sekarang, seperti;

  • Melakukan konvoi keliling kota dengan membawa atribut partai atau Calon Pemimpin Daerah di mobil terbuka. Model kampanye ini seringkali menimbulkan kemacetan lalu lintas kota dan rentan tindakan anarkis.
  • Mengumpulkan massa dengan menggelar konser musik artis top.
  • Memberikan sumbangan pada tempat ibadah, panti asuhan, panti jompo, balai desa/kelurahan disertai ceramah atau pidato yang diliput media lokal.

Model kampanye seperti ini dipandang mampu menyedot perhatian dan kehadiran publik dalam jumlah besar. Melihat perkembangan jaman sekarang, apakah model kampanye tersebut seperti ini masih efektif mempengaruhi masyarakat calon pemilih?

Kalau dulu jaman kuda gigit besi, namun kini kuda gigit sinyal. Heuheueh...! Itu berarti telah terjadi perubahan radikal di dalam masyarakat kita, khususnya warga kota metropolitan Jakarta.

Sering dikatakan orang Jakarta lebih kritis dan rasional. Konon, mereka mampu memilah sesuatu yang nyata berguna bagi kehidupan, mana yang hanya janji semata-yang kata Mukidi ; "Elu PHP? Ke laut aje, cing!"

Bagi sebagian masyarakat era informasi seperti sekarang ini, panggung hiburan terbuka sudah bukan lagi sesuatu yang 'wah'. Untuk menikmati hiburan musik (konser), mereka cenderung pada yang sifatnya sebagai penampilan eksklusivitas kelompok mereka -tanpa embel-embel politik. Kata Mukidi ; "Music is just for music". Heu heu...

Bila kemudian cara-cara kampanye 'jadoel’ seperti tersebut di atas masih juga mendominasi dan sangat diminati masyarakat DKI Jakarta, maka perlu dipertanyakan tentang..#ah sudahlah...pembaca silahkan pikirkan sendiri, karena saya hanya Kompasianer pemalu...heuheu...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline