Penantian sejumlah tokoh dan partai yang sejak awal tidak akan mengusung Ahok sudah sampai pada jawabannya. Masa penantian mereka sudah berakhir. Antara lega dan kebat-kebit mengingat PDIP mengambil keputusan lebih cepat dari mereka dalam menentukan calon gubernur DKI.
Ketika langkah PDIP sudah terpampang di depan mata, yakni merapat ke Ahok dan bukan mereka mengusung kader sendiri-meninggalkan Ahok tentunya sudah diantisipasi sejak awal. Ada plan A, B, C dan seterusnya.
Penantian sejumlah tokoh dan partai yang sejak awal tidak akan mengusung Ahok sudah berakhir. Mereka sampai pada jawabannya. Antara lega dan rasa 'kebat-kebit' mengingat PDIP mengambil keputusan lebih cepat dari mereka dalam menentukan calon gubernur DKI.
Ketika langkah PDIP sudah terpampang di depan mata, yakni merapat ke Ahok dan bukan mengusung kader sendiri dan meninggalkan Ahok tentunya sudah diantisipasi para kompetitor sejak awal. Ada plan A, B, C dan seterusnya.
Dalam politik selalu ada perencanaaan, strategi dan target walau yang tampak di mata publik tak lebih hura-hura joget kampung di panggung gratis pasar malam.
Siapapun tokoh publik boleh naik panggung dan berjoget 'menghibur' masa. Para tokoh dan partai bergantian naik panggung, atau justru bersamaan. Mereka saling bergesekan dan saweran. Mereka berjoget ria sementara publik di bawah panggung jadi kerasukan goyang. Soal suara cempreng itu bukan masalah. Yang penting goyangnya bikin heboh. Ada orang yang ikutan goyang sambil nyanyi. Ada yang hanya goyang tapi terpejam mata seperti berdoa. Ada yang hanya diam tapi pikirannya bergoyang. Ada pula yang diam karena malu bergoyang melihat para tokoh dan partai itu bergoyang diluar pakem. Hal ini pun dilakukan Ahok dan PDIP selaku ‘juragan besar’ ketika mereka belum ‘akad nikah’ (deklarasi pencalonan). Hanya bedanya keduanya beda panggung dengan sejumlah tokoh top dan partai lainnya.
Kini usai 'akad nikah' Ahok dan PDIP bersama Nasdem, Hanura dan Golkar sejatinya tak lagi di panggung dangdut heboh itu. Mereka secara resmi turun panggung untuk nikmati bulan madu. Mereka pulang ke rumah dam masuk kamar untuk konsolidasi lebih awal agar besok bisa bangun pagi dengan pikiran dan badan segar untuk menjalankan program hidup baru. Sebuah program kerja resmi yang ingin didengar banyak orang.
Sementara sejumlah tokoh dan partai bukan pengusung Ahok masih asik bergoyang dangdut di panggung gratis itu. Mereka bisa kelehan karena terlambat istirahat, atau memang sengaja menanti Ahok dan PDIP pulang terlebih dahulu. Bisa jadi ini sebuah strategi. Atau bisa jadi justru kelalaian yang bisa membodohi rakyat. Keasikan berdangdut di hadapan sorak-sorai orang di bibir panggung membuat mereka lupa diri bahwa besok perlu kerja lebih serius.
Bisa jadi pula mereka turun panggung, tapi bukan pulang ke rumah melainkan mengintip kamar Ahok bersama keempat partai pengusungnya yang serius konsolidasi. Mereka berebut lakukan itu tapi masih belum reda suasana goyangnya tak beda dengan di panggung. Riuh dan bergoyang di lain tempat. Mereka bukannya konsolidasi melainkan konsolidangut di tepi dinding yang bukan rumah mereka. Ini sangat menganggu ketertiban ‘kampung’. Ini kegiatan orang-orang sakit. Lebih dari itu, konsolidangut itu tak ada manfaatnya bagi pembelajaran untuk publik yang sejatinya dapat melihat dan menilai program kerja mereka.
Panggung dangdut gratis harusnya sudah usai ketika nanti pendaftaran calon gubernur DKI resmi ditutup. Jangan ada lagi panggung dangdut tambahan dan konsolidangdut dari pihak manapun, termasuk pihak Ahok beserta empat partai pengusungnya. Rakyat capek kalau harus terus diajak goyang diluar pakem dan mendengar suara cempreng. Selain itu harusnya malu dengan ‘kampung tetangga’ (negara-negara tetangga). Jangan sampai mereka mengira demokrasi di Ibukota negara sebagai barometer politik negeri ini hanya diisi dengan konsolidangut tak jelas waktu, arah tujuannya.
-------