[caption caption="sumber gambar ; http://www.indogamers.com/system/upload/media/pictures/5041d222f1e041346490914kinek.jpg"][/caption]
Dua hari ini Kompasiana sedang Heboh. Bagaimana tidak? Onta dan Babi naik panggung Kompasiana dan jadi pusat perhatian. Jumlah hits nya sebagai petandanya.
Kehebohan ini memunculkan AAdOdB ( Ada Apa Dengan Onta dan Babi). Saya pikir awalnya ini gejala biasa dalam dunia maya. Tapi kemudian terlihat menjadi tidak biasa ketika Onta dan Babi ter-indetik-an kepada sosok orang di Kompasiana. Karenanya saya putuskan membahasnya di sini.
Sebagai Lelaki Pemalu di Kompasiana, sebelum menulis saya mendatangi Onta. Kami bicara banyak tentang eksistensinya di Kompasiana sambil menikmati hidangan aneka kurma yang manis. Demikian selanjutnya, saya pun mendatangi Babi dan berbicara dari hati ke hati sambil menikmati gulai gaplek campur gedebong pisang.
Kedua pihak, yakni Onta dan Babi punya komitmen kuat bahwa Kompasiana harus tetap berdiri untuk jadi lilin di kegelapan. Menerangkan dan menjadi media perenungan. Bisa menjadi saluran informasi dan tempat belajar mengolah cara berpikir yang sehat.
Mereka berdua walau berbeda Habitat ( lingkungan hidupnya) namun punya satu tujuan yang mulia yakni menjadikan setiap pembaca menjadi lebih cerdas, kemudian menularkan kecerdasannya itu kepada lingkungan sekitarnya. Ini pekerjaan yang tampak kecil di tengah permasalahan bangsa yang kompleks. Namun dengan viralitas yang politif, kelak bisa menjadi sebuah energi yang turut mempengaruhi perjalanan positif bangsa ini.
Hasil pembicaraan saya dengan Onta dan Babi sungguh berkesan. Walau keduanya bukan apa-apa di khasanah intelektual, namun mampu berpikir jauh ke depan dengan cara yang sederhana. Sesuai kapasitas mereka sebagai Babi dan Onta.
Saya sebagai Lelaki Pemalu sungguh dibuat jadi tersipu malu, tak menyangka akan visi mereka berdua di Kompasiana ini. Saya malu karena selama di Kompasiana lebih sibuk menaik dan menurunkan celana tanpa sebab dan tanpa tujuan yang jelas. Sementara isi celana saya tak membutuhkan itu. Isi celana saya punya mekasime kontrol-nya sendiri. Isi celana saya memiliki daya survive-nya sendiri yang alami. Tak perlu diutak-atik hanya karena saya seorang Kompasianer Pemalu.
Bagi saya kemudian, pembicaraan dengan Onta dan Babi itu merupakan sebuah tamparan yang membangunkan kesadaran primitif agar tak lagi primitif. Bahwa bangsa ini tak butuh cara-cara primitif dalam cara pandang dan pendekatan masalah. Terlebih di Kompasiana sebagai media terkemuka.
Sebelum pamit pulang, Onta dan Babi ingin meminjamkan celananya. Tapi saya tolak dengan halus. Saya akan menemukan sendiri celana itu di Kompasiana. Seperti kata pepatah yang menjadi prinsip saya ; "Carilah Celana Sampai ke Negeri Cina. Muda Bercelana, Tua tak Masuk Angin dan Tak Mengkeret."
Kalau bukan sekarang kapan lagi? Kalau bukan kita siapa lagi? Ayoo Kerja! Kerja dan Kerja!