Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Pengaruh Rezim Penguasa pada Kriteria dan Pamaknaan 'Pahlawan'

Diperbarui: 11 November 2015   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : Ir Soekarno, sang Ploklamator bersama Sultan Hamid II, si Pencipta Lambang Garuda Pancasila. ||sumber gambar ; http://ichef-1.bbci.co.uk/news/ws/660/amz/worldservice/live/assets/images/2015/06/09/150609052801_sultan_hamid_dua_640x360_bbc_nocredit.jpg"][/caption]

Pada masa sekolah menengah dulu (SMP dan SMA) ketika sedang suka-sukanya membaca buku sejarah dan diantara ingatan masa kecil yang membekas tentang cerita heroik pejuang yang dipenjara atau kemudian mati tertembus peluru, timbul pertanyaan ‘besar dan lugu' namun tak pernah berani diungkapkan karena berbagai sebab. Salah satunya berbau ‘Sara dan Tidak Nasionalis'.

  • Kenapa jumlah Pahlawan Nasional sedikit, sementara yang mati berjuang banyak? Apakah hanya orang terkenal dari kelompok pejuang saja yang mendapat gelar pahlawan? Atau sebaliknya, karena diangkat jadi Pahlawan lah baru mereka terkenal?
  • Kenapa Pahlawan lebih banyak berasal dari Jawa? Apakah hanya orang Jawa saja yang berjuang? Nama mereka bahkan dibadikan di luar Jawa mulai tingkat propinsi hingga kabupaten paling jauh. Sehingga benak masa kecil hanya mengetahui bahwa pahlawan itu berasal dari Jawa.
  • Kenapa orang daerah jarang ada yang jadi Pahlawan (nasional) sehingga namanya bisa juga diabadikan pada jalan protokol di Jawa?

Seiring berjalannya waktu dan memasuki dunia perkuliahan maka wawasan pun bertambah, baik soal situasi politik negara, kekuasaan dan rezim. Hal tersebut ternyata berpengaruh pada pemahaman fenomena terciptanya sosok Pahlawan Nasional pada tokoh pejuang.

[caption caption="https://mainstreamnoteverything.files.wordpress.com/2014/08/14354138338_77f087b1b0_o.jpg?w=1100"]

[/caption]

Pahlawan pada Rezim Penguasa

Seorang yang telah berjuang dan kemudian akan menjadi Pahlawan Nasional ternyata kemudian harus diperjuangkan oleh orang lain dan bukan oleh dirinya. Baik oleh kelompok pendukungnya dari satu daerah demi kebanggan daerah tersebut, desakan organisasi massa, serta beragam kelompok lainnya. Tapi semua itu berakhir pada keputusan rezim yang berkuasa saat itu. Ada adigium 'Suatu sejarah ditentukan oleh penguasa'.

Jalan menuju gelar Pahlawan Nasional ternyata sangat kompleks. Ada sejumlah kriteria yang berkaitan dengan kajian akademis versi si Rezim, aspirasi masyarakat, faktor administratif, faktualitas data, otentitas data dan bukti, bahkan kalau bisa ada saksi hidup.

Namun pada akhirnya semua itu kembali pada kepentingan rezim yang sedang berkuasa dan 'arogansi' sekelompok orang di lingkaran politik rezim, apakah mau mangangkat atau tidak seorang tokoh pejuang menjadi pahlawan nasional.

Kepentingan rezim secara politis tidak selamanya bersifat negatif. Bisa jadi positif dalam arti untuk kepentingan lain yang lebih luas. Rezim tak ingin adanya gejolak di masyarakat yang mengganggu kestabilan sosial-politik saat mereka berkuasa akibat gelombang protes pengangkatan seseorang tokoh menjadi Pahlawan Nasional. Hal ini tentu merugikan nama baik dan sejarah rezim itu sendiri.

[caption caption="sumber ; http://cdn.jaringnews.com/3/2014/01/23/5ab051d712d0ae314b5ec547149f2340_1.jpg"]

[/caption]

Dulu saya sempat heran, ternyata selama rezim Soeharto banyak tokoh besar sejarah yang saya baca di masa sekolah ternyata tak kunjung menjadi pahlawan nasional. Seorang Ir. Soekarno sang Ploklamator sampai akhir rezim Soeharto tidak diangkat jadi pahlawan nasional. Beliau baru diangkat tahun 2012 paska rezim Soeharto. Selanjutnya ; Tan Malaka, sang Pemikir yang sosoknya misterius tak pernah dianggap sebagai sosok pejuang kemerdekaan dan pahlawan di buku pelajaran sekolah. Demikian juga Sarwo Edhie Wibowo yang perannya bagai disembunyikan. Padahal dia sangat menonjol dan berjasa pada penumpasan G30/S/PKI tahun 1965. Juga tokoh nasional dari Kalimantan Barat Sultan Hamid II yang menciptakan Lambang Negara Garuda Pancasila, berpendidikan dari negeri Belanda, orang dekat Soekarno dan pernah jadi menteri pada era Soekarno tak juga jadi Pahlawan Nasional. Padahal sudah sering diusulkan pemerintah daerah Kalbar dengan kajian akademis daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline