Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Utopia Bangun Pagi

Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; http://www.tahupedia.com/img/uploaded/post/post_3/more_active.jpg"][/caption]

Tak ada suasana lebih nyaman selain pagi hari. Semua masih murni karena milikron debu masih mengendap ketakutan ditimpa lembab.

Ada embun sisa pesta ozon dini hari. Ia terus berterbangan menemui janji-janji persinggahan. Selalu berlomba dengan matahari yang masih tidur lelap.

Walau hanya sisa, embun pagi tetaplah embun, yang sukarela dan bersusah payah menyuling angkara polusi kemarin. Dilakukannya semua itu dengan kepenuhan cinta.

Mumpung bisa nikmati pagi.
Lakukanlah itu secara paripurna. Mainkan semua inderamu di ruang batin publik paling tinggi. Biarkan pori-pori diri membuka seolah berteriak girang. Karena pagi tak pernah berubah bagi setiap hati yang terbuka pada karunia hari.

Terkadang ada rasa dingin suam-suam dari keringat pergelutan malam di ranjang. Berkelahilah ia dengan tebal selimut dini hari. Tak usahlah kuatir. Sebenarnya mereka hanya bercanda-mentertawakan kemalasan.

Besok kutunggu kau mencandai sensasi di jalan pagi. Namun itu kalau aku tak lagi-lagi ditipu mimpi.

Itulah harapanku yang mengendap lama dan mengkristal seolah jadi asesoris diri. Isinya selalu berubah menjadi rangkaian bab cerita usang berulang tentang sosok tukang bubur. Tak apa, tetap kusimpan semua itu untuk menu tengah malam.

Lama keinginan pagi ku bersemayam dan menjadi utopia yang tak lelah kutimang-timang. Tak pernah lebih dari itu. Karena sebenarnya diam-diam aku benci bangun pagi. Sampai detik ini.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline