Rumah baru Kompasiana ibarat mega mall. Menghadirkan citra kekinian. Menggoda rasa banyak orang untuk datang dan menikmati segala pajangan. Sebagian ada yang jualan, selebihnya hanya window shoping.
Mereka bukan hanya berjual beli habis itu pulang. Melainkan berlama-lama di dalam untuk menjelajahi setiap lapak sembari menikmati kualitas ruang dengan riang gembira.
Citra modern, mewah dan bersih pada bangunan mempengaruhi perilaku pengguna ruang. Orang menjadi enggan atau malu membuang sampah sembarangan padahal bisa jadi orang tersebut di tempat lain terbiasa membuang sampah, meludah atau bahkan kencing sembarangan.
Orang masuk ke mall mewah akan malu bila berpakaian kumuh atau tidak rapi. Karena didalamnya sudah terbayang banyak orang yang berpakian rapi. Bukan hanya itu, cara berjalan dan berperilaku pun secara sadar atau tidak menyesuaikan dengan penampialan rapi. Malu kalau berlaku norak.
Secara tidak langsung, Mall telah mengubah perilaku pengguna di dalamnya. Kualitas bangunan dan ruang mengubah pengguna menjadi "lebih berkualitas". Dalam lingkup terbatas, Mall telah membentuk Habitus baru bagi penggunanya.
Demikian (harapannya) pada Mega Mall Kompasiana ini. Tampilan baru mampu menjadikan penjual..eh, penulis (kompasianer) menghasilkan artikel berkualitas. Demikian juga pembeli, eeh...para komenwan dan komenwati menjadi sopan berdialog. Tak lupa kaum window shoping (silent reader) berperilaku sopan. Kesemua itu menghadirkan perilaku Sharing and Connecting yang berkualitas sesuai ruang mewah Kompasiana.
Kompasiana sebagai bangunan mega mall baru tentu masih terdapat kekurangan, khsusunya pada jaringan utilitas dan detail arsitektur karena masih dikerjakan penyempurnaanya. Ini hanya masalah waktu.
Kenapa mega mall Kompasiana sudah buka sementara belum selesai 100 persen?