Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Diskriminasi Kematian Pesohor

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427517074815942560


"Pesohor mati meninggalkan panggung, penonton mati meninggalkan dirinya sendiri".

Pepatah abal-abal hasil komodifikasi pepatah KW1 ini mungkin agak 'maksa' dan 'tidak bijaksana'. Harusnya kematian bukan untuk diperbincangkan secara aneh karena kematian sangat sensitif di suasana duka kerabat yang ditinggalkan. Namun terlepas dari hal itu, benarkah manusia telah menempatkan kematian secara bijaksana?

Untuk sebuah kematian; seorang pesohor seperti tokoh besar, raja atau pemimpin negara disebut wafat. Tak ada residivis yang wafat. Tak ada pemimpin yang mati tenggelam karena itu hanya milik pemulung dan rakyat kecil. Mereka tetap dinyatakan wafat usai evakuasi. Padahal 'wafat, 'meninggal', 'mati', 'berpulang' konsepnya sama yakni ; seseorang orang yang tidak lagi hidup, jiwanya telah pergi dan yang tertinggal hanya jasad.

Dalam konsep yang sama, manusia hidup tetap tak mau melepaskan diri pada pemilahan yang membedakan diri kaumnya dengan kaum lain. Ada semacam pembedaan kasta yang dimunculkan.

Seperti halnya di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri, pembedaan berdasarkan Kasta diperlukan untuk sebuah 'kehormatan'. Maka, ketika manusia bertemu di satu simpul yang sama bernama 'kematian', kasta pun tetap hadir dan dilekatkan, seolah 'kematian itu sesuatu yang hidup' diantara mereka yang masih hidup.

Wafat menjadi lebih 'terhormat' dibandingkan 'mati' atau 'meninggal' apalagi 'tewas'. Pada para pesohor, kronologis penyebab kematian tak lagi diperlukan untuk mendapatkan label 'wafat'.

Kematian bagi kaum pesohor bukan hanya milik si 'meninggal' dan keluarganya yang berduka, melainkan telah menjadi milik orang banyak. Mereka inilah yang kemudian 'menghibur' diri mereka sendiri atas 'rasa kehilangan'. Beruntunglah Kasta dalam realitas memiliki kekuatan besar sampai pada 'agenda kematian'.

Sementara kasta orang kecil dan terpinggirkan tak memiliki kekuatan mengubah 'kematian' menjadi penghiburan kaumnya.

Andai saja ada keluarga pemulung atau residivis kambuhan yang melekatkan 'wafat' di seantero kaumnya maka hal itu bukan malah menjadi hiburan tapi justru bisa sebaliknya; kecaman diam-diam, cemoohan dan tertawaan.

Bagi kaum para pesohor, kekuatan Kasta telah mampu mereka pertahankan sampai ke liang kubur. Sementara alam sakral mungkin tak membutuhkan kasta tersebut. Ah, biarlah.....

14275178091355849042




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline