[caption id="attachment_371464" align="aligncenter" width="400" caption="https://andasiallagan92.files.wordpress.com/2012/11/keadilan.jpg"][/caption]
Antara rasa keadilan dan hukum positif seringkali tidak nyambung. Bagai dua tetangga dekat yang tak bertegur sapa. Bagai dua batang rel kereta api yang masing merasa punya jasa pada roda kereta. Palin celaka bila jauh panggang dari api !
Bedanya apa?
Kalau anda kaya raya sementara anda adalah aparat negara maka Anda hampir pasti diduga korupsi atau memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Hal itu bisa melukai rasa keadilan publik. Masak aparat bisa kaya raya kalau tidak korupsi? Gaji anda sudah bisa diukur, dan tak akan menjadi kaya yang maha raya. Demikianlah 'mainset' publik negeri ini. Dan 'Mainset' merupakan bahan bakar yang mumpuni terbentuknya opini publik yang masif.
Sementara 'cara hukum' sedikit berbeda.Ia tak tergantung pada 'mainset' tapi bukti otentik berupa ; dokument, saksi kunci, audio viasual kejadia, dan lain-lain berupa bentuk fisik yang bisa ditampilkan saat di pengadilan. Pada bentuk-bentuk itu seringkali si 'Rasa Keadilan' berada jauh dari otentisitas, berada di urutan buncit Keadilan yang sesungguhnya. Bagi si 'Bukti', si 'Rasa Keadilan' hanyalah fatamorgana milik dewa-dewa kayangan yang tak jejak di tanah.
Disitulah titik kritis terjadi, seperti sebuah simpang jalan yang seringkali jadi perdebatan tak berkesudahan. Contohnya polemik Komjen Pol BG. Dengan akal sehat, publik sulit menerima seorang jenderal dengan jabatan strategis memiliki harta kekayaan yang berlimpah. Mereka punya tendensi BG korupsi. Namun BG 'berhasil' membuktikan kepada lembaga terkait seperti Bareskrim, Kompolnas dan DPR bahwa harta yang dia miliki adalah sah ! Ada bukti-bukti hukum tertulis yang dia miliki. Sehingga sampai sekarang dia tak tersentuh hukum, bisa tidur nyenyak entah di rumahnya yang kesekian.
Begitulah, hukum seringkali dianggap kejam oleh si 'Rasa Keadilan'. Sementara 'Rasa Keadilan' dianggap 'lebay' yang tak didasarkan pada sesuatu bukti 'otentik'. Sungguh malang. Ah, tidak...tidak ! Saya tak ingin mengatakannya hal itu malang, karena bisa terjebak pada lebay-isme.
Oleh orang-orang pintar dan culas, bukti hukum sejak awal disetting, direkayasa dan dikomodisikasi sedemikian rupa. Sehingga walaupun terlihat tidak memenuhi rasa keadilan publik, namun secara administrasi dan bukti hukum dia dinyatakan benar ! Alias tidak tersangkut hukum.
Cara-cara tersebut sudah berlaku umum, untuk mensiasati hidup. Dan sudah banyak orang pintar yang mampu melakukannya secara sempurna. Salah satu contohnya saya!
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H