Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Anak: Sebuah Ruang Kekinian!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak adalah sebuahruang yang menakjubkan. Didalamnya penuh kejutandan pesona imajinatif. Ruang itu adalah ruang yang selalu baru. Saat aku di usianya, aku sendiri tak pernah memiliki ruang seperti milik anakku. Bukan tak diberikan orang tua, tapi karena ruang itu kudapatkan dari misteri  semesta lewat lensa mata dan batin. Mungkin begitu juga pada anakku kini. Tapi aku akan protes besar ! Semesta pilih kasih dan Kini telah berbohong. Kenapa kini tak lagi ada ? Apakah  disembunyikan? Bukankah aku juga memiliki semesta itu dari dulu hingga sekarang?

Lama kupandangi cermin dan ruangku. Sedikit saja aku menggeser posisi, maka berubahlah sosokku, terutama wajah. Di cermin itu bukan lagi wajahku, tapi wajah milik banyak orang.  Disitu ada wajah keluarga besar, istri, orang-orang yang kubenci, tetangga, teman-teman sekantor, atasan, kenalan, dan bahkan wajah negara yang kabur. Aku seperti selalu melihat wajah baru diriku, tapi sebenarnya tidak ! Sementara di ruangku, ada banyak debu berserakan di setiap sudut. Walau seringkali kubersihkan, tapi debu itu tak pernah hilang total, seolah tetap lekat.  Saat aku berubah posisi itulah debu-debu itu bergerak menyesuaikan. Kadang tebal dan kadang tipis. Heran, ditempat bekerja itulah debu paling tebal menyelimuti ruang dan tubuhku.

Apakah aku jadi malu? Tidak ! Aneh, bukan?

Aku pun mencoba mengingat dimana ruangku yang seperti ruang anakku. Tak ada sama sekali!

Celaka duabelas !

Kembali aku berkejar ke ruang anakku. Aku pun kembali takjub. Ternyata ruang anakku adalah ruang kekinian, dimana aku terengah-engah di pintunya. Celakanya, aku tak lagi mampu memasuki. Nafas seolah tinggal setengah dan badan pun penuh debu, apalagi tangan dan telapak kaki ini.

Ah, biarlah aku di depan pintu itu, karena aku malu.

Kini, seringkali aku hanya mampu mengintip dari dinding terluarnya dengan penuh takjub berulang tanpa mampu mendefenisikan ruang kanak-kanakku sendiri di masa lalu.
Aku tetap selalu rindumenjadi anak-anak, menjadi ruang kekinian, tanpa terengah-engah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline