Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

ARB Bukan Kucing, Salam Gajah Duduk!

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari keledai yang dungu saja kita bisa belajar, kenapa tidak dengan ARB yang top, berpengalaman dan pinter ? Bagaimana melihatnya?

Sebagai warga negara yang belum baik, tapi selalu ingin menjadi baik, saya selalu memperhatikan dinamika politik nasional secara berimbang. Saya bukanlah pendukung ARB, tapi saya pikir banyak yang bisa disimak dan dijadikan pembelajaran dari seorang ARB dengan Golkar-nya yang besar dan lebih berpengalaman.

Walau sedari awal ARB tidak punya nilai jual, terutama karena dosanya di lumpur Lapindo dan takdirnya bukan orang Jawa, jauh hari si ARB sudah punya nyali dan rencana mau jadi presiden. Bahkan bukan hanya rencana, tapi sudah memploklamirkan diri disaat tokoh top lain masih sok sibuk dan malu-malu kucing.Perlu diingat, kalau kucing sudah hilang malu, ikan asin basi pun dilahap. Nah, ARB bukan seperti kucing.

Berbekal wangsit politis, wajah ganteng (rata-rata dengan calon lain), uang saku yang cukup, teman yang loyal di partai, jaringan yang kuat, mesin partai yang bandel, kepandaian merekrut orang pintar bermental pekerja, maka majulah dia jadi calon presiden.Intrik di dalam partainya diredam dengan manis, sesuai senyumnya yang memang manis. Buktinya dua artis muda dan cantik ikut senyum manis bersamanya di pulau surga. Maka diolah lah semua itu menjadi makin manis.

Semua bekal yang dimiliknya itu diramu dengan perhitungan enjinering yang handal.Sejak awal, dia merubah merek bedak dari Ical menjadi ARB. Agak lucu, aneh, wagu dan kaku juga saat pertama kali mendengar singkatan ARB. Lidah dan benak seperti dipaksakan menyebut dan mendengar nama itu. Telinga pun akan geli, seperti kemasukan lalat genit. Tapi itulah, dasarnya orang top yang berpengalaman, dengan berjalannya waktu, semua itu dibaliknya. Kini lidah dan telinga sudah lebih nyaman dan tidak aneh lagi dengan merek ARB.

Baginya, waktu adalah sesuatu yang berharga untuk meningkatkan citra diri dan memberi pembelajaran bagi masyarakat luas bahwa bila sesuatu direncanakan matang sejak jauh hari, sampah pun bisa berguna dan tak berbau seperti semula.Sejak awal, mungkin dia sadar bahwa dirinya adalah sampah berlumpur di mata masyarakat luas. Dia ingin berubah dengan menggubah. Tapi dia tidak mau menjadi kucing, melainkan macan.Maka jadilah dia capres paling senior karena sejak jauh hari tidak mau malu-malu kucing menyatakan diri calon presiden.

Mentalitas seperti ini adalah mentalitas unggul, yang mampu melihat segala sesuatu dengan positif untuk tujuan positif. Mentalitas seperti ini mampu mendobrak frasa kuno nenek moyang yang kini mungkin perlu dikritisi, yakni : “orang tak tahu diri”. Dia bukan tak tahu diri, karena dari tahu akan diri sebagai Ical itulah dia menjadi ARB.

Mentalitas unggul mampu menggubah banyak hal yang semula bagi sebagian orang sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan ARB telah berhasil menggubah seorang Ical dengan segala tantangan yang dihadapi, konsekuensi yang bakal diterima untuk sebuah harapan. Kini dia telah separuh jalan menggubah sebagian citra dosa lumpur dan takdir suku tadi.Seorang Ical menjadi ARB menjadikannya sangat mungkin menjadi Presiden RI berikutnya. Terlepas segala kontroversi yang menyelimutinya.

Mentalitas unggul itu pula yang dia tampilkan dalam iklan-iklan politik yang saban waktu muncul di televisi miliknya dan beberapa kali di tivi sebelah. Iklan itu tampil tidak dengan sebuah teriakan penuh emosional yang menonjolkan urat leher. Tapi dengan kedalaman setting pemahaman akan patriotisme mampu menggugah rasa kebangsaan secara elegan.

Satu lagi yang cukup menarik dari pernyataan di iklan politiknya bahwa kalah atau menang dalam pemilu itu hal yang biasa, karena terpenting adalah proses menjalani demokrasi sebagai sebuah pembelajaran bagi banyak orang. Jadi, seperti sebuah pertandingan olahraga, pasti ada yang kalah. Tapi tak semua yang kalah itu tidak unggul.

Kini separuh dari perjalanan panjang dan tantangan yang berat telah dia lalui, tinggal separuh jalan lagi. Perolehan suara Golkar di urutan kedua sangat signifikan dalam pemilu untuk meraih kursi presiden.Padahal kalau dipikir-pikir secara konvensional, dosa dan takdir seorang ARB sejak awal bisa menjungkalkan posisi Golkar pada urutan bawah, tidak elit dan Tidak Mungkin menjadi presiden.

Karena ARB bukan kucing yang suka malu-malu, kalau pun kalah dalam pilpres nanti, dia akan kalah sebagai kontestan unggul. Suara kekalahannya tidak akan jauh berbeda dengan si pemenang.

Saya bukan pendukung ARB, tapi kalau kemungkinan menang itu terwujud, saya tidak kaget !

Salam gajah duduk, ARB !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline