[caption id="attachment_339025" align="aligncenter" width="476" caption="Suasana Seleksi CPNS dalam Stadion Olahrara, sumber gambar : http://goo.gl/Q3oPKf"][/caption]
Pemerintah telah resmi membuka pendaftaran CPNS 2014 dengan sistem online sejak Rabu, 20 Agustus 2014. Kali ini cukup banyak tersedia formasi di kementerian pusat, lembaga non-kementerian, instansi propinsi/kabupaten/kota. Secara garis besar adalah sebagai berikut (sumber kompas.com) :
A. Formasi pusat terdiri atas 68 kementerian/lembaga (total 24.928 formasi):
1. Tiga kementerian koordinator: 87 formasi
2. 27 kementerian: 18.253 formasi
3. 28 lembaga pemerintah non-kementerian: 4.783 formasi
4. Lembaga dan sekretariat lembaga negara: 1.805 formasi
B. Formasi daerah (total 38.824 formasi)
1. 10 provinsi di Pulau Sumatera dan sekitarnya: 11.347 formasi
2. Sembilan provinsi di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara: 8.376 formasi
3. Lima provinsi di Pulau Kalimantan: 6.644 formasi
4. Enam provinsi di Pulau Sulawesi: 4.920 formasi
5. Empat provinsi di Kep Maluku dan Papua: 7.537 formasi
Cara online merupakan metode baru seleksi yang dilakukan secara terpusat, yakni oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Beberapa tahun sebelumnya, sistem seleksi dan waktu penyelenggaraan diserahkan masing-masing departemen, lembaga non-departemen dan daerah di seluruh Indonesia. Sementara BKN hanya menetapkan jumlah formasi setiap kementerian dan instansi daerah, serta menerima hasil seleksi mereka.
Cara online ini mirip seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri. Dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia diperuntukkan bagi daerah yang tahun ini menerima CPNS. Peserta tes dapat melakukannya di tempat masing-masing yang telah ditentukan.
Sebagai catatan, tahun ini beberapa daerah maupun kementerian tidak menerima pegawai baru karena berbagai pertimbangan internal.
[caption id="attachment_339026" align="aligncenter" width="320" caption="Sosok PNS masa kini, sumber gambar : http://goo.gl/hRuKhp"]
[/caption]
Sebagian masyarakat kita telah menantikan seleksi CPNS dengan penuh harapan. Maklum saja, di tengah sinisme terhadap besarnya anggaran pemerintah membayar gaji PNS dan stigma rendahnya kinerja, masih kuat keinginan masyarakat untuk menjadi PNS. Terbukti jumlah pesertanya setiap tahun tetap besar.
Cara seleksi terpusat ini telah membuka harapan bagi sebagian masyarakat bahwa sistem seleksi bisa dilakukan secara fair. Siapa yang memiliki kompetensi dan keunggulan mengerjakan soal seleksi, dialah yang lulus. Tak peduli dia orang miskin, rakyat biasa atau anak pejabat.
Kalau dulu, saat masih diselenggarakan secara otonom oleh masing-masing kementerian dan daerah seringkali seleksi CPNS berbau kurang sedap dan menimbulkan kericuhan klasik. Proses seleksi disinyalir tidak fair, misalnya; hanya sanak saudara, kerabat orang penting atau pejabat tertentu saja yang bisa lolos karena punya kekuasaan. Hal tersebut ditunjang sistem pengawasan yang relatif kurang, dan otonomnya daerah atau kementerian penyelenggara.
Kali ini, dengan sistem online-terpusat hal-hal negatif bisa diminimalisasi. Maka harapan rakyat biasa yang tak punya akses kekuasaan dan lobi semakin besar. Dengan demikian satu persoalan klasik dan krusial telah bisa terpecahkan.
Namun di balik itu, sistem terpusat mendatangkan kekuatiran terutama bagi daerah-daerah. Sistem ini memungkinkan setiap orang dari mana pun bisa menjadi PNS di daerah mana pun di seluruh Indonesia. Di sinilah pangkal masalahnya.
Bisa terjadi nantinya formasi CPNS di daerah diisi oleh orang-orang di luar daerah tersebut karena mereka memiliki keunggulan dalam kualitas pendidikan. Contohnya, lulusan sekolah/perguruan tinggi di pulau Jawa relatif unggul dibandingkan daerah, apalagi pada daerah yang kualitas pendidikannya masih relatif rendah. Maka lulusan dari Pulau Jawa akan mengungguli hasil seleksi yang menyebabkan putra-putra daerah akhirnya hanya menjadi penonton saja.
Kalau sistem dulu, walau orang-orang lulusan sekolah Pulau Jawa bisa mengikuti seleksi di daerah namun jumlah mereka relatif sedikit. Hal ini disebabkan;
Pertama; Peserta seleksi harus datang sendiri ke daerah tersebut. Ini cukup meredam, karena yang punya kemampuan dana untuk datang ke daerah di seluruh Indonesia bersifat terbatas.
Kedua; Setiap daerah karena punya otoritas seleksi tentu akan mengutamakan putra daerah dengan berbagai pertimbangan, misalnya: putra daerah lebih mengetahui situasi daerahnya, agar lebih betah di daerah penugasan dan tentu saja secara tersirat pemda tidak ingin putra daerahnya hanya jadi penonton di tanah sendiri.
Untuk halkedua tersebut, saya pernah mengalami langsung saat fase wawancara. Hanya karena pernah kuliah di Pulau Jawa dan bekerja beberapa waktu di Jakarta, status putra daerah saya diragukan. Fase wawancara sangat alot untuk klarifikasi yang membuat heran tujuan pertanyaan mendalam tersebut. Belakangan setelah lolos dan lama berkarya, saya tahu dari si pejabat pewawancara tersebut. Beliau mengatakan tidak mau kecolongan karena beberapa pengalaman terdahulu, PNS dari luar yang diterima tak bertahan lama dan pindah ke Pulau Jawa-Sumatera. Daerah selalu kehilangan SDM setelah lama dididik dan dilatih. Terbukti, dua orang rekan angkatan saya masuk PNS yang murni ‘orang luar’ setelah dua tahun bekerja kemudian pindah ke Pulau Jawa.
Akibat lain sistem terpusat adalah rentan timbul kecemburuan sosial terhadap pegawai pendatang.Mungkin sedikit berbeda di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya yang banyak menawarkan karier di swasta bergengsi, kalau di daerah menjadi PNS masih menjadi pilihan utama dan memiliki gengsi yang tinggi. Adanya kecemburuan tersebut bisa menjadi persoalan tersendiri dalam bentuk yang beragam bagi stabilitas pembangunan daerah.
Salah satu solusinya adalah perlu adanya policy perimbangan yakni memberi kuota putra daerah. Baik jumlah maupun sebaran kerjanya. Apabila lulusan jurusan tertentu di daerah tersedia, dan nilai seleksinya sama atau tidak berbeda jauh di bawah ‘orang luar’ maka si putra daerahlah yang diterima. Sistem kuota seperti ini pernah diterapkan PTN top di Pulau Jawa dalam sistem penerimaaan mahasiswa baru di era 80-an. Kalau tidak demikian tidak akan ada anak daerah yang bisa kuliah di PTN top di Pulau Jawa.
Policy ini seperti buah simalakama, di satu sisi melukai sistem seleksi yang fair, namun di sisi lain stabilitas daerah juga perlu dijaga. Lalu, cara mana yang akan dipilih? Kita lihat saja nanti.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H