[caption id="attachment_340597" align="aligncenter" width="624" caption="https://assets.kompas.com/data/photo/2013/10/09/1153492ratu-atut-cho780x390.jpg"][/caption]
Ratu Atut Gubernur Banten non-aktif akhirnya dijatuhi vonis penjara selama 4 tahun dan denda 200 juta oleh Majeli Hakim Tipikor. Vonis ini oleh Ratu Atut masih dalam dipikir-pikir dulu akan terima atau melakukan banding, karena dia merasa tidak bersalah dan hanya jadi korban dari sengketa dan suap pilkada Lebak.
Dalam keputusan itu ada dissenting opinion dari salah satu majelis hakim, yang menyatakan Ratu Atut tidak bersalah karena ketidaktahuannya. (lihat sumber satu dan dua besertarentetannya)
Pertama : Ratu Atut tidak mengetahui bila salah satu pasangan Calon Bupati Lebak yang kalah, yakni Amir Hamzah-Kasmin akan mengajukan gugatan karena dia tidak hadir dapam pembicaraan rencana tersebut.
Kedua : Ide menyanggupi permintaan uang suap sebesar 3 M oleh ketua MK Akil Mochtar bukan dari dirinya melainkan dari Susi Tur Andayani yang merupakan orang dekat Akil Mochtar. Dalam hal itu Atut sama sekali tidak tahu.
Menurut sebagian kalangan, vonis terhadap Atut ini relatif ringan. Namun demikian dia masih belum mau menerima keputusan majelis hakim Tipikor karena merasa tidak bersalah. Dia merasa hanya jadi korban imbas dari rencana suap calon Bupati Lebak Amir Hamzah dengan advokat Susi Tur Andayani yang merupakan orang dekat Akil Mochtar. Apalagi, pertemuan Atut dengan Akil di Singapura bukan sesuatu yang direncanakan.
Menyimak serangkaian berita persidangan sebelumnya dari berbagai media, ada yang aneh bila seorang Gubernur yang notabene penguasa tertinggi suatu wilayah tidak mengetahui gejolak dan permainan politik pilkada bupati di daerahnya. Apalagi jelas-jelas calon yang tersangkut itu adalah jagoannya. Si jagoan ini ingin menang di MK, sementara Atut punya kedekatan personal dengan ketua MK karena dulu sama-sama kader partai satu partai di DPR. Logikanya, atas kedekatan itulah seorang Atut bisa atau punya kemampuan membantu jagoannya untuk minta tolong dimenangkan di MK.
Argumentasi ‘tidak tahu’ bukan saja aneh tapi juga lucu. Dalam logika awam tentunya hal itu sulit diterima. Bagaimana seorang kepala daerah yang bertanggung jawab terhadap segala dinamika politik di daerahnya tidak tahu sama sekali pernak pernik dibalik semua itu. Apalagi hal ini menyangkut keberlanjutan dinasti dan kerabatnya untuk mengasai pemeritahan di Banten. Selain itu, ada kader partainya yang ikut dalam pilkada tersebut.
Kalau pun dia tidak punya kepentingan terhadap pilkada itu, aneh bila segala informasi yang berkembang dari waktu ke waktu tidak sampai di telinganya dari orang-orang kepercayaannya. Minimal segala informasi itu untuk menjadi dasar dia bersikap sebagai kepala daerah mengantisipasi hal-hal yang bisa menyebabkan instabilitas. Biasanya kepala darerah punya intel-intel pribadi di mana-mana untuk memantau.
Kalau tidak tidak tahu sama sekali percuma jadi orang politik dan kepala wilayah. Kalau perlu, jarum yang jatuh di wilayah pemerintahannya pun seorang gubernur harus tahu.
[caption id="attachment_340598" align="aligncenter" width="200" caption="http://rmol.co"]
[/caption]
Jaman sekarang adalah jaman informasi. Seseorang yang dipercayai untuk memberikan atau ditugaskan khusus mencari tahu tentang sesuatu hal tidak mesti harus datang menghadap untuk menyampaikan inforasi yang didapatkan dilapangan. Banyak perangkat canggih bisa digunakan.
Selain itu, seorang kepala daerah sejatinya harus banyak energi ’pengen tahu’ dan kemudian membuat cara tersendiri agar ‘pengen tahunya’ itu bisa terpenuhi. Gunanya tentu saja banyak, baik itu menyangkut eksistensi dirinya, maupun pembangunan di wilayahnya.
Soal tahu dan tidak tahu memang sesuatu yang ambigu, disatu sisi hal itu tergantung orang tersebut mau jujur atau tidak. Sementara disisi lain, pengadilan hanya bisa berjalan bila ada bukti. Dimanakan tahu berada? Tentunya di alat bukti, walu itu masih bisa singgah lagioleh terdakwa dengan kata ‘tidak tahu’. Padahal, Tahu itu bukan sesuatu yang tidak-tidak karena enak rasanya, heu..heu...
Keputusan majelis hakim telah dijatuhkan, tinggal menunggu sikap Ratu Atut untuk menerima atau mengajukan banding. Beruntungnya sebagian majelis hakim tidak terjangkit ‘aneh’ dan masih bisa jalan logikanya dibanding hakim yang memberikan dissenting opinion.
Kalau nanti Atut kemudian mengajukan banding ke MA, hanya ada tiga pilihan ; yakni pertama bandingnya tidak diterima sama sekali yang berarti vonis terdahulu harus dijalankan. Kedua, banding diterima dengan keputusan Atut dibebaskan atau vonisnya dikurangi atau justru vonis hukumannya ditambah !
Manakah keputusan yang akan diambil MA? Nah, kali ini saya benar-benar tidak tahu ! Karena saya cuma Kompasianer biasa dan bukan orang MA atau ahli hukum. Ini tidak aneh, bukan? Tapi kalau anda sudah tahu sejak sekarang, berarti anda orang aneh !...heu..heu..heu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H