Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Mengidolakan Koruptor Sebagai Tren Baru

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat berita atau membaca tentang koruptor memunculkan sikap sinis paling masif. Dalam hati menyimpan sumpah serapah paling canggih. Dan bagi anda yang tak tahan, akan menuangkannya di media dengan kalimat paling pedas. Setidaknya, sumpah serapah itu tak membusuk di dalam hati yang bikin sakit syaraf nurani.Beruntunglah ada media karena bibir tak cukup mewakili nafas bau yang keluar dari mulut kita. Nafas itu adalah uap hasil pemanasan logika dan nurani yang dibakar realitas timpang.

Kita seperti kumpulan manusia bodoh dan dungu ketika layar aktor korupsi dibuka lebar di media dan pengadilan. Saat itulah kita tahu bahwa ada rambut kita yang dicabutnya untuk dijual menjadi kumpulan rambut menjadi wig indah yang menghiasi mahkota kekuasaan mereka.

Pernah terpikir untuk menjadikan mereka bidang sasaran panah, dimana sejuta anak panah dilesatkan di satu titik, yakni jantung atau wajah mereka. Atau setidaknya, melemparkan tong sampah berisi belatung dari sampah beberapa hari lalu belum terbuang, yang membusuk, berlendir dan berulat. Tapi itu semua tak mampu menyelesaikan kegelisahan atas rasa dibohongi.

Lalu bagaimana harus bersikap, sementara mereka seperti jamur yang tumbuh mengelilingi hidup kita? Menerima begitu saja tentu bukan sikap terbijak. Berharap pada pedang hukum seringkali membuat rasa keadilan terpancung.

Ada satu cara paling ekstrim, dan ini perlu pemikiran jernih yang paling bangsat. Apa itu? Kita balik logikanya.

Jadikan mereka idola dan superstar baru ! Sanjunglah mereka dengan kata-kata paling manis. Bukalah semua yang mereka banggakan atas kepiawaiannya. Beritakanlah dengan suka cita kehebatannya. Jambangilah rumah mereka ramai-ramai sekedar untuk berfoto bersama. Mintalah untuk tampil ke panggung dan bercerita tentang hidup bahagia mereka saat mengangkangi uang tabungan kita.Buatlah kelompok-kelompok fans koruptor dengan berbagai kemasan agenda paling canggih, dan carilah sponsor paling bonafit di setting panggung yang gemerlap.

Lalu biarkanlah mereka pulang dengan senyum paling renyah, dan jangan halangi mereka melangkah di karpet pesta menuju mobil mewah yang menunggunya. Lambaikan tangan saat mobilnya berlalu dari hadapanmu. Berikan ciuman paling genit darikedua  telapak tangan anda, agar mereka pun menurunkan kaca dan balas melambai.

Setelah itu, segeralah anda pulang dan tidur dengan nyenyak.

Kelak di suatu pagi entah di  matahari terbit ke berapa, anda akan mendapatkan kabar kematiannya lewat breaking news atau running teks televisi. Orang yang anda lambai-lambaikan beberapa waktu lalu saat temu idola itu telah pergi selamanya dengan caranya sendiri ; overdosis obat tidur, gantung diri atau lainnya. Karena lampu panggung dan sorak puja-puji telah membuatnya menjadi manusia kesepian di istana megahnya. Dan kesepian itulah yang membunuhnya dengan cara paling sunyi.

Bukankah superstarbiasanya mati (duluan) karena kesepian?

Selamat pagi Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline