[caption id="attachment_370650" align="aligncenter" width="420" caption="gambar ; https://assets.kompasiana.com/statics/files/14103782791433107975.jpg"][/caption]
Ahok marah-marah, itu sudah biasa. Ahok bikin ulah, itu bonus. Tapi kalau menantang masuk Penjara? Mari simak ulasan menarik ini.
Dalam peta politik Indonesia kontemporern kehadirannya di panggung elit politik sangat khas, tampak kuat dan percaya diri, unik dan langka. Belum ada yang menyamai dia saat ini. Ahok bisa dikategorikan sebagai 'The Phenomenon' atau si Phenomenal.
Dengan 'dua dosa' yang jadi takdir dirinya yakni aspek etnis dan agama di belantara politik Indonesia yang seringkali tanpa malu menerapkan metode Rasis dan Primodial untuk membunuh karakter pesaing, Ahok tetap tegar memainkan gayanya di panggung politik. Dan gayanya itu mencolok mata publik !
Takdir itu telah lama dia sadari. Baginya itu sudah lewat masa kadaluarsa. Jadi bukan lagi hidangan yang layak dilihat dan dirasakan.
Sebagai sosok 'Phenomenon', Ahok punya tiga alamat yakni di Penjara, Rumah Sakit dan Kuburan.
Dari ketiga alamat tersebut, yang ringan adalah penjara. Lebih baik masuk penjara 4 tahun daripada gegar otak parah hingga cacat karena dianiaya, bukan?
Orang atau kelompok radikal yang tidak suka dan benci dengan kehadirannya plus 'dua takdirnya' tadi akan bernafsu mengirimnya ke rumah sakit (melukai) atau kuburan (membunuhnya).
Saya pikir, dia paham dan sadar semua itu!
Karena kesadaran itulah membuat Ahok tampak kuat. Tapi benarkah dia kuat seolah punya persediaan tujuh lapis nyawa? Apakah dia memang punya Nyali sebesar gunung sebagai sosok kuat?
Menjadi orang bernyali di arena tertentu seperti politik itu tidak mudah. Bukan hanya modal nekat, tapi perlu perhitungan matang, yakni kolaborasi Logika dan Perasaan.