Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Tubuh-tubuh Telanjang Itu Harus Dimaknai? Upaya Berdialog dengan Realitas Kehidupan Perempuan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13315452781034535166

Hari  Perempuan  Sedunia,  8  Maret  2012  baru  saja  lewat.

Biasanya  saya  akan  menerima  kiriman  refleksi  atau  ajakan  untuk merayakan  momen  tersebut secara  kreatif,  entah  dalam  aksi  bersama  maupun   meditasi  pribadi.  Tapi  ternyata  hari  itu terlewatkan  begitu  saja.  Hanya  sehari  kemudian,  saya  mendapati  artikel  yang  ditulis  oleh  Aris  Zardens  dalam  Kompasiana  dengan judul  “Iklan dan Pembebasan Tubuh Perempuan, Sebuah Usaha Humanisasi Menurut Pemikiran Simone De Beauvoir”.

Artikel  yang  sungguh  menarik,  mencerahkan, tapi  juga  lumayan  berat  untuk  dipahami!

Tiba-tiba artikel  itu  mengingatkan  saya  pada  tiga  bentuk  realitas  kehidupan  yang  berhubungan  dengan  tubuh  perempuan. Artikel  itu  menjumpakan  saya  bahkan  menggugah  saya  untuk  berdialog kembali  dengan  tiga  bentuk  realitas  kehidupan  tersebut  yang  pernah  singgah  dalam  ingatan  saya.

Pertama,  ingatan  tentang sebuah  patung  tubuh perempuan dalam  keadaan  telanjang  dan tersalib. Patung  tubuh  perempuan  telanjang  itu  - dalam  bentuk  sebuah  foto  - saya  lihat  melalui  sebuah  workshop  yang  membahas  tema  Kristologi  dan  kaum  perempuan. Awalnya  saya  sempat  shock melihat  foto  tersebut. Tapi  disitulah  starting  point  bagi  saya  untuk  membuka  diri  pada  suatu  cara  pandang  berbeda,  sebuah  cara  pandang  yang  180  derajat  berbeda  dari   pemahaman  yang  selama  ini  telah  berdiam  dalam  otak  saya.  Perlu  keberanian  ekstra  bagi  saya  untuk melangkah  dan  menapaki  jembatan  penghubung  cara-cara  pandang  yang  berbeda itu. Ternyata  melakukan  yang  dinamakan  ‘thinking  outside  the  box”  tidak  mudah  tapi  bukan  berarti  tidak  mungkin  dilakukan !

Bagaimana  mungkin  ada  penggambaran  “ tubuh  perempuan”  ibarat  Kristus  yang  tersalib,  dan  yang  lebih  mencengangkan  adalah  tubuh  itu benar-benar  tidak  tertutupi oleh sehelai  benang  pun  dan  berdiri  tegak  di ruang  publik  yakni  sebuah  taman  dalam  lingkungan  sekolah  teologi  di Toronto, Kanada.  Semua  peserta  workshop  - kaum  perempuan - yang  hadir  termasuk  saya  benar-benar  ditantang  untuk  berjumpa  dengan   “tubuh” itu  dan  memaknainya. Banyak  perasaan  terungkap  pada  waktu  itu:  rasa  malu,  segan,  sedih, bingung, kecewa,  marah, dan  putus  asa  setelah   menatap  tubuh  itu.  Semua  rasa  itu  memiliki  alasan  tersendiri, ada  yang  mengungkapkannya  terbuka  namun  ada  pula  yang  menyimpan  rapat  dalam  hatinya.  Bagi  saya  sendiri,  sebagai  individu  yang  terlahir  dalam  konteks  Asia  dan  budaya  timur  yang  sangat  kental dengan  prinsip  “taboo”,  saya  masih menganggap   tabu  tindakan-tindakan  yang  dengan  sengaja  mengekspose  tubuh  perempuan  ke publik  apalagi  dalam  keadaan  telanjang.  Tapi  rupanya,  munculah  kemudian  sebuah  pandangan  ambigu  dalam  diri  saya,  di satu  sisi  tubuh telanjang  itu  mengisyaratkan  ketidaknyamanan atau  perasaan  terancam, rentan   sebagai   seorang  perempuan namun  di sisi  lain  tubuh  itu  mengisyaratkan  peringatan  atau  ajakan  untuk  mengenang   tubuh-tubuh  lain  yang  terdiskriminasi,  termarginal  serta  tertimpa penderitaan, penyiksaan  dan  kekerasan.  Tubuh  itu  mengingatkan  pelbagai  bentuk  realitas  penderitaan  kaum  perempuan  di  dunia  ini,  yang  menghalangi   dirinya  untuk  hadir  dan  termaknai  sebagai  Imago  Dei  (Gambar  dan  rupa Allah),  sebagai  Subyek  dan bukan  obyek. Berapa  banyak  kaum  perempuan  di  dunia yang  akhirnya  harus pasrah  pada  tuntutan  publik  terhadap  dirinya,  pasrah  pada  konstruksi  dan  definisi  public  mengenai  dirinya ?  Bahwa  perempuan,  oleh  karena  tubuh  dan  anatomi  seksualitasnya  maka  statusnya,  eksistensinya  adalah  semata   sebagai  obyek, benarkah ???  Namun  ternyata,  sistim  yang  menempatkan  perempuan  dan  tubuhnya  sebagai  obyek  telah  menyediakan  sejumlah  benefit  bagi  kaum  perempuan  yang  membuatnya  enggan  keluar  dari  perangkap  sistim  tersebut.  Banyak  kaum  perempuan  yang  lebih   memilih  berdiam  dan  menikmati ‘privilege’  tersebut,  memilih  untuk  tetap  berada  dalam  lingkaran  status  quo  pengobyektifikasian  tubuh  perempuan.  Meski    pada  sisi  lain,  pilihan-pilihan  sadar  untuk  patuh  pada tuntutan proyek  social  pengobyektifikasian  tubuh  perempuan  tersebut  sebenarnya  mengandung  dilemma-dilema  yang  sulit  dijembatani  kaum  perempuan  sendiri,  namun  bukan  berarti  kesadaran  perempuan  untuk  berubah  dan  menapaki  jalan  menuju  pembebasan  tubuh  sudah  tertutup !  Hanya  dibutuhkan  keberanian  dan  keyakinan:  bahwa  selalu  ada  jalan !

(Bersambung)


[caption id="attachment_176016" align="alignnone" width="300" caption="crucified woman in park of Theological college in Toronto"]

1331544194547175709

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline