Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2012 baru saja lewat.
Biasanya saya akan menerima kiriman refleksi atau ajakan untuk merayakan momen tersebut secara kreatif, entah dalam aksi bersama maupun meditasi pribadi. Tapi ternyata hari itu terlewatkan begitu saja. Hanya sehari kemudian, saya mendapati artikel yang ditulis oleh Aris Zardens dalam Kompasiana dengan judul “Iklan dan Pembebasan Tubuh Perempuan, Sebuah Usaha Humanisasi Menurut Pemikiran Simone De Beauvoir”.
Artikel yang sungguh menarik, mencerahkan, tapi juga lumayan berat untuk dipahami!
Tiba-tiba artikel itu mengingatkan saya pada tiga bentuk realitas kehidupan yang berhubungan dengan tubuh perempuan. Artikel itu menjumpakan saya bahkan menggugah saya untuk berdialog kembali dengan tiga bentuk realitas kehidupan tersebut yang pernah singgah dalam ingatan saya.
Pertama, ingatan tentang sebuah patung tubuh perempuan dalam keadaan telanjang dan tersalib. Patung tubuh perempuan telanjang itu - dalam bentuk sebuah foto - saya lihat melalui sebuah workshop yang membahas tema Kristologi dan kaum perempuan. Awalnya saya sempat shock melihat foto tersebut. Tapi disitulah starting point bagi saya untuk membuka diri pada suatu cara pandang berbeda, sebuah cara pandang yang 180 derajat berbeda dari pemahaman yang selama ini telah berdiam dalam otak saya. Perlu keberanian ekstra bagi saya untuk melangkah dan menapaki jembatan penghubung cara-cara pandang yang berbeda itu. Ternyata melakukan yang dinamakan ‘thinking outside the box” tidak mudah tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan !
Bagaimana mungkin ada penggambaran “ tubuh perempuan” ibarat Kristus yang tersalib, dan yang lebih mencengangkan adalah tubuh itu benar-benar tidak tertutupi oleh sehelai benang pun dan berdiri tegak di ruang publik yakni sebuah taman dalam lingkungan sekolah teologi di Toronto, Kanada. Semua peserta workshop - kaum perempuan - yang hadir termasuk saya benar-benar ditantang untuk berjumpa dengan “tubuh” itu dan memaknainya. Banyak perasaan terungkap pada waktu itu: rasa malu, segan, sedih, bingung, kecewa, marah, dan putus asa setelah menatap tubuh itu. Semua rasa itu memiliki alasan tersendiri, ada yang mengungkapkannya terbuka namun ada pula yang menyimpan rapat dalam hatinya. Bagi saya sendiri, sebagai individu yang terlahir dalam konteks Asia dan budaya timur yang sangat kental dengan prinsip “taboo”, saya masih menganggap tabu tindakan-tindakan yang dengan sengaja mengekspose tubuh perempuan ke publik apalagi dalam keadaan telanjang. Tapi rupanya, munculah kemudian sebuah pandangan ambigu dalam diri saya, di satu sisi tubuh telanjang itu mengisyaratkan ketidaknyamanan atau perasaan terancam, rentan sebagai seorang perempuan namun di sisi lain tubuh itu mengisyaratkan peringatan atau ajakan untuk mengenang tubuh-tubuh lain yang terdiskriminasi, termarginal serta tertimpa penderitaan, penyiksaan dan kekerasan. Tubuh itu mengingatkan pelbagai bentuk realitas penderitaan kaum perempuan di dunia ini, yang menghalangi dirinya untuk hadir dan termaknai sebagai Imago Dei (Gambar dan rupa Allah), sebagai Subyek dan bukan obyek. Berapa banyak kaum perempuan di dunia yang akhirnya harus pasrah pada tuntutan publik terhadap dirinya, pasrah pada konstruksi dan definisi public mengenai dirinya ? Bahwa perempuan, oleh karena tubuh dan anatomi seksualitasnya maka statusnya, eksistensinya adalah semata sebagai obyek, benarkah ??? Namun ternyata, sistim yang menempatkan perempuan dan tubuhnya sebagai obyek telah menyediakan sejumlah benefit bagi kaum perempuan yang membuatnya enggan keluar dari perangkap sistim tersebut. Banyak kaum perempuan yang lebih memilih berdiam dan menikmati ‘privilege’ tersebut, memilih untuk tetap berada dalam lingkaran status quo pengobyektifikasian tubuh perempuan. Meski pada sisi lain, pilihan-pilihan sadar untuk patuh pada tuntutan proyek social pengobyektifikasian tubuh perempuan tersebut sebenarnya mengandung dilemma-dilema yang sulit dijembatani kaum perempuan sendiri, namun bukan berarti kesadaran perempuan untuk berubah dan menapaki jalan menuju pembebasan tubuh sudah tertutup ! Hanya dibutuhkan keberanian dan keyakinan: bahwa selalu ada jalan !
(Bersambung)
[caption id="attachment_176016" align="alignnone" width="300" caption="crucified woman in park of Theological college in Toronto"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H