Menjelang tidur, Pagi bermesraan dengan bukunya yang usang. Tidak tipis dan tidak pula tebal. Sebab tipis dan tebal hanya soal selera. Dibukanya lembar demi lembar membuatnya tenggelam dalam cerita; terpingkal-pingkal, tersendu-sendu, pun berkaca-kaca penuh harap.
Buku itu berkisah tentang perjalanan Pagi merawat kebun. Ia dengan hati-hati membawa dua ember berisi air penuh. Meski sudah hati-hati, Pagi tersandung sesekali, goncangan tak bisa dihindari, sebab kebun sudah menanti.
Sebagian air yang tumpah merupakan kebahagiaan bagi tanah dan penderitaan bagi semut yang tertimpa. Dengan riang, Pagi menyiram kebunnya dengan air yang tersisa serta disambut dengan tarian dedaunan seakan menyambut gembira.
Anehnya, Pagi tak menganggap hama sebagai musibah. Ia menganggap hama sebagai haha. "Aku menyirami kebun sekaligus memandikan hama, haha". Ia tertawa.
Setelahnya, Pagi duduk bersila. Pagi selayaknya seorang pria yang tak bercerita. Ia hanya merenung memandangi kebunnya. "Sudah benarkah caraku merawat kebun? Kapankah aku dapat memanen hasilnya?"
Sebelum rangkaian pertanyaan terjawab, Pagi menyadari bahwa ia telah sampai di akhir halaman Buku. Ia harus menulis sendiri lanjutan ceritanya di esok hari bersama cahaya Surya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H