Berita pelarangan masuknya Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, ke Amerika Serikat memenuhi undangan resmi Jenderal Josef Dunford, pimpinan Staf gabungan militer AS sepintas terkesan seperti "kekeliruan adminitrasi" di internal pemerintahan AS. Pemahaman awam demikian apalagi kalau meliht sikap Kedubes AS di Jakarta yang kemudian meminta maaf atas atas kekeliruan tersebut dan segera memfasilitasi keberangkatn Gatot dan rombonganny ke Washington.
Tapi bagi seorang yang pernah berkarier sebagai diplomat atau terlibat didalam urusan berdiplomasi antar negara, pelarangan atas Gatot itu didalam dunia diplomasi dikenal sebagai "sign of diplomacy", sinyal bahwa sesungguhnya ada ketidak senangan pemerintah satu negara terhadap seseorng dari negara lain yang akan memasuki negaranya. Dalam konteks ini pemerintah AS sesungguhnya tidak "happy" dengan jenderal Gatot.
Bisa juga diartikan, AS tidak suka dengan pemerintah Indonesi dibawah Presiden Jokowi karena Gatot adalah bagian dari pemerintahan tersebut. Atau bisa juga dibaca larangan itu sebagai sinyal awal kedongkoln atas suatu kputusan yang dilakukan pemerintahan Jokowi yang merugikan AS, atau karena sebab musabab yang mereka sendiri yang mengetahuinya. Pokoknya sign of diplomacy itu dalam bahasa kerennya anak jakarte " Lu tau sendiri deh". Biasanya, pelarangan semacam itu dapat bersifat pribadi atau alasan lain yang melatarinya.
"Hikmah"
Hikmah dibalik pelarangan Gatot itu bagi kita adalah bahwa mulai sekarang sikap kita terhadap pemerintahan Donald Trump harus lebih tegas dan lugas. Tidak lagi memberi kesan "a good boy" seperti yang selama ini dikesankan. Sebagai negara besar dan berdaulat yang selama ini menjadi teman baik AS, mungkin saatnya kita meng=evaluasi secara menyeluruh, mana yang perlu dipertahankan dari hubungn kerjasama selama ini dan bahkan ditingkatkn, mana yang ditinjau kembali atau tidak perlu diteruskan. Evaluasi terutama ditujukn pada kerjsama yang bersifat bilateral atau multilateral antara pemerintah (G to G). Adapun kerjasama antara rakyat kedua bangsa (people to people) terus dipelihara bahkan ditingkatkan.
Memang dunia diplomasi itu seperti filosofi berteman, banyak hikmahnya. Terkadang seiring-sejalan, terkadang cekcok. Bisa juga setia sampai akhir atau bercerai ditengah jalan atau bahkan berubah menjadi musuh bebuyutan. Karena itu didalam berpolitik ada ungkapan " tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan dapat menjadi lawan dan lawan dapat menjadi kawan...semuanya tergantung kepentingan". (PD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H