Lihat ke Halaman Asli

Selingkuh Akidah (6)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langkah Nurjana terhenti seketika. Berpaling mengawasi pemuda di sampingnya, mata perempuan itu seperti mau meloncat. Barulah Budi menyadari kelancangan mulutnya.

Tanpa berkata sepatah pun Nurjana meneruskan langkahnya. Tinggallah Budi terpacak dengan sengalan nafasnya. Nurjana berlalu, Jayak, Epan dan Anton datang menyerbu. Budi menyambutnya dengan celoteh.

“Gila juga janda yang satu ini. Seratus juta dia tolak! Dia pikir gampang cari duit seratus juta? Sayang aku bukan Nurjana. Kalau iya, sudah lama cek ini kusikat! Tiga bulan kawin racuni! Habis perkara!”

“Itulah sayangnya,” sahut Jayak iyaiyanya. “Kita ini cowok. Coba kalau cewek, kupikir sudah lama jatuh ke lembah hina.”

Mereka pun mengikik nikmat, digelitik kalimat puitis Jayak: “jatuh ke lembah hina”.

KELUAR dari TPU, Nurjana tak sempat memperhatikan mobil bagus yang parkir di belakang motornya. Dia harus buruan karena dikejar waktu. Hari itu anak TK pulang lebih awal dan dia tak ingin telat menjemput putrinya.

Perempuan itu hengkang, giliran Budi, Jayak, Epan dan Anton keluar dari TPU. Sementara itu Honda Karisma anyar melesat datang lalu menyalip parkir di depan mobil mereka. Pengendaranya seorang lelaki tua, dengan tubuh dibungkus sarung, baju koko, syorban dan kopiah putih.

Turun dari motornya Pak Haji menyambut keempat anak muda itu dengan pertanyaan sok kenal sok dekat alias SKSD: “Kalian dari mana? Ziarah?”

“Bukan, Pak Haji. Hunting lokasi. Mau bikin sinetron. Kebetulan ceritanya cerita hantu, jadi ya sebagian syuting di kuburan ….,” jawab Jayak edan.

Karuan saja Pak Haji melotot: “Ooo jadi kalian ini yang suka bikin sinetron hantu di tivi itu ya?!”

“Betul, Pak Haji. Kebetulan kami sekolah film di luar negeri, sama-sama jurusan film hantu. Jadi, pas pulang ke Tanah Air, kami sepakat kerja bareng bikin sinetron hantu. Alhamdulillah, ternyata disukai pemirsa. Makanya kami mau bikin lagi ….,” bual Jayak nikmat.

Pak Haji pun meradang. “Bung! Insaflah! Gara-gara sinetron hantu kalian itu, saban malam anak-menantuku cekcok! Menantuku suka sinetron hantu, anakku ndak bisa terima cerita ndak masuk akal! Kalau dipikir anakku ada benarnya. Masak hantu bisa pacaran bisa kawin bisa bunting seperti manusia? Ndak masuk akal kan?”

“Pak Haji,” Anton terpancing ikutan, “sinetron kan hiburan. Yang namanya hiburan ya harus menghibur. Seringkali, yang menghibur justru yang ndak masuk akal. Pak Haji lihat Donald Bebek. Masak iya lehernya bisa melar sampai sekian meter? Ndak masuk akal kan? Tapi siapa yang ndak terhibur nonton Donald Bebek?”

“Bung!” seru Pak Haji sengit. “Kita tidak bicara soal Donald Bebek! Kita bicara soal hantu! Pertanyaannya: kenapa harus hantu? Tidak adakah mahluk lain yang lebih mulia derajatnya yang patut kalian jadikan tokoh sinetron ….?”

Budi tak tahan sekadar menjadi penonton. Semangat debat Pak Haji menyulut gairahnya untuk ikutan bertarung di medan persilatan ide itu. “Jadi begiti, Pak Haji ….”

Epan benar-benar dibuat runyam. Sambil geleng kepala dia menyingkir ke mobil. Meloncat ke belakang stir, dia menyalakan mesin lalu mengingatkan rekan-rekannya dengan klakson. Sementara Budi berceloteh iyaiyanya.

“…. Setelah kita cermati, ternyata derajat hantu jauh lebih mulia dari derajat manusia. Buktinya, mereka ndak pernah protes ketika kejelekan mereka diungkapkan di depan publik. Kesimpulan kita: hantu itu mahluk legowo, berjiwa besar, mau mengakui kekurangan. Beda dengan kita manusia. Kita mana mau mengakui kekurangan. Sudah tahu muka bopengan, masih mau mendemo cermin. Makanya kita sepakat menokohkan hantu. Biar aman, sambil menyajikan fakta: sebenarnya, hantu jauh lebih mulia dari manusia ….”

“Lagian, Pak Haji,” sambung Jayak tanpa dosa, “kita kan jurusan film hantu. Masak iya pulang-pulang bikin sinetron lain? Ndak nyambung kan?”

“Soal anak-menantu Pak Haji suka cekcok nonton sinetron hantu,” sambung Anton pula, “Pak Haji ndak usah khawatir. Kami punya teman spesial drama. Nanti biar dia yang bikin sinetronnya. Oke?”

Pak Haji benar-benar kehabisan kata. Karena bunyi klakson sudah susul-menyusul diwarnai kejengkelan, Anton mengakhiri perdebatan itu dengan “Salamu’alaikum” lalu hengkang ke mobil diikuti Budi dan Jayak.

Meloncat masuk ke mobil, mereka disambut omelan Epan. “Kalian ini benar-benar kelewatan. Tampang sudah tampang hantu, perangai perangai hantu. Orang tua, nanya benaran, bukannya dijawab baik-baik malah diajak ngelantur kesana kemari ….”

Jayak, Budi dan Anton mengikik. Mobil bertolak dan kemudian melaju. Terpacak memandang buritan mobil, Pak Haji geleng kepala. “Masyaallaaaaah. Jauh-jauh sekolah film ke luar negeri, pulang-pulang bikin sinetron hantu. Apa ndak ada cerita lain ….?”

Mobil lenyap dari pandangan, Pak Haji merasa kupingnya ditiup. Darahnya tersirap. Bulu romanya seketika beridiri. Begitu dia membalik, kontan dia terpekik, “Astaghfirullah!!!” Orang tua itu pun rebah melorot seakan tak bertulang.

Jika saja anak-anak itu masih di situ, niscaya mereka mengira orang tua itu jantungan. Sebab, mata normal tidak akan dapat melihat mahluk serupa Mak Lampir yang menyeringai di belakang Pak Haji. Agaknya, setelah dia siuman, Pak Haji akan berbalik memihak menantunya, lalu tampil di layar kaca menjadi narasumber kisah misteri.

³³³




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline