Lihat ke Halaman Asli

Requiem untuk Adik Perempuanku

Diperbarui: 6 Juli 2015   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore ini, aku sungguh-sungguh baru merasa berdoa di pusaramu Dik meski petang ini tak terdengar hening dan melankoli seperti ketika pemakamanmu tiga hari yang lalu kemarin. Entah kenapa, kedua kakiku begitu ringan untuk membawamu ke makammu lagi. Apakah kau melihatku dari awan-awan putih itu? Apakah kau sedang dipeluk awan-awan gemuk itu sekarang. Semoga kau senang di sana, menyongsong pelangi setiap habis hujan. Bukankah dulu kau juga penyuka bianglala.  Oh iya, aku bawakan coklat dan permen meski sedikit, tidak banyak. Kukuburkan saja nanti di pusaramu kalau Kakakmu ini akan pulang.

Oh iya Dik, apakah kau masih ingat kucing kita dulu Dik. Kucing yang selalu lucu ketika kau goda dengan sehelai lidi. Kucing yang selalu berada dipelukan ketika kita duduk menonton televisi Dik. Kini kucing itu justru teringat lagi setelah tiga hari kematianmu Dik. Kucing itu bahkan mendatangiku dalam mimpi. Ah, sudahlah kau pasti tak ingat.

Yang paling konyol, yang masih kuingat tentangmu Dik, kau pernah meronta nangis kepada Bapak untuk dibelikan boneka barbie di toko kelontong dekat jalan masuk kampung. Sayangnya, ketika sampai rumah, rambut panjang boneka barbiemu itu justru kau brondoli hingga gundul. Aku menertawakanmu ketika itu, tapi kini aku menangisi kenangan terbaik ini setelah kamu pergi Dik. Aku tidak akan lupa kenangan ini Dik.

Hal yang paling kuingat dari dirimu Dik ketika SD kau baru suka sekali menari Dik. Setiap ada tamu yang datang, kau tunjukkan tarianmu Dik, berputar-putar di ruang tengah hingga Bapak dan Ibu bertepuk tangan senang. Aku sangat ingin menangis lagi saat ini ketika mengingat ini Dik. Kau memang lucu ketika itu, menggemaskan. Kamu ketika itu juga sangat menyukai ponimu kan Dik. Poni pendek di atas alis yang selalu kau sisir, lalu kau pakai bando yang ada kupu-kupunya. Sayap kupu-kupunya akan bergerak ketika kamu sedikit meloncat.

Apa kau juga masih ingat ketika kulempar sebuah potongan bambu dan mengenai kepalamu hingga berdarah. Sungguh aku tak bermaksud melukaimu Dik. Kau ketika itu menangis di pelukan Bapak hingga Bapak waktu itu marah-marah kepadaku. Raut wajah Bapak begitu sangat khawatir saat itu dan aku sembunyi.

Ketika aku sakit tipes waktu SMA, kau masih ingat kan? Aku memintamu untuk mendoakanku dengan tanganmu yang mungil ditumpangkan ke dahiku. Terima kasih Dik atas doanya. Kakakmu ketika itu begitu sangat merasakan kasih sayang perhatian seorang adik perempuan.

Yang masih tak bisa kulupa adalah ketika kamu begitu bersemangat naik motor merah tua Bapak untuk sekolah ketika SD setiap pagi. Apa kau juga lupa ketika Ibu begitu ngos-ngos-an mengayuh pedal sepedanya hanya untuk menjemputmu ketika masih TK di dekat tangsi polisi. Ah, sudahlah tentu kau sudah lupa dan maafkan aku jika mengingatkanmu tentang kenangan ini.

Kali ini akan kuucapkan secara jelas kalimat ini yang memang belum kukatakan karena begitu sibuk mengurusi prosesi pemakamanmu.

"Selamat jalan adikku. Maafkan, kakakmu ini tak pernah menjagamu selama ini, sibuk dengan urusannya. Tak pernah lagi memberikanmu cerita-cerita yang hangat ketika kamu masih ada. Kakakmu ini memang kakak yang bodoh karena tak selalu sering bersamamu. Pergilah dengan tenang Dik. Percayalah aku tak akan merisaukanmu pada hari-hari yang akan datang. Aku juga tak akan menunggumu lagi di depan pintu rumah karena rumah ini bukan rumahmu lagi dan takkan pernah menjadi rumahmu lagi. Kau kini anak langit dan ibumu tanah. Bapak dan Ibu tadi juga berpesan kalau sembahyangan mengenangmu karena dipangil Tuhan akan diselenggarakan secara meriah meski hanya dihadiri saudara-saudara terdekat. Sejak sore kemarin, aku putuskan untuk tak menangisimu lagi karena kepergianmu ini memang untuk selamanya dan takkan pernah kembali lagi." 

Beberapa saat, kuusap lagi nisanmu yang masih baru. Andai aku bisa memutar waktu. Aku akan menjagamu ketika itu Dik. Tak akan lagi kamu kubiarkan sendiri Dik. Kau akan kutemani merawat kucingmu yang masih kecil itu Dik. Akan kuselimuti ketika kamu kedinginan Dik.

Pesanku, aku harap kamu jangan mendatangi lewat mimpi kepada Ibu Dik. Aku sungguh tak rela karena ia begitu sedih karena kepergianmu ini. Kemarin ia mengatakan sudah iklas, tapi ia masih menangis saat aku intip dari balik pintu. Kalau pergi, pergilah saja. Bapak juga sudah mulai membuang barang-barangmu di kebun rumah Dik. Jangan marah Dik, Bapak melakukan itu karena agar tidak bisa menangis lagi karena mengingatmu. Di beberapa kesempatan, kau sering bertengkar dengan Bapak dan bilang "Bapak itu tidak adil, jahat!". Kau salah Dik, setahuku Bapak itu sangat sayang kepadamu Dik. Ya kamu Dik belahan hatinya, anak perempuan satu-satunya yang selalu didoakannya setiap malam. Bapakmu itu sayang kamu Dik. Apa hatimu tak tergetar ketika melihat raut tua Bapak sekarang. Dia telah bekerja keras menghidupimu, menyekolahkanmu Dik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline