Lihat ke Halaman Asli

Paulus Tukan

Guru dan Pemerhati Pendidikan

(Hari Pendidikan Nasional) Rotan Vs Hak Asasi Manusia

Diperbarui: 2 Mei 2020   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaskus.co.id

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional ini saya ingin berbagi pengalaman saya ketika  berada di SD, sebuah sekolah dasar bersubsidi di Lewotala, sebuah desa terpencil di Kecamatan Tanjung Bunga (sekarang maauk Kecamatan Lewolema) di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ini sekitar 40 tahun silam.

Pendidikan kala itu memang sangat disiplin dan keras. Saya akan memberikan contoh-contoh yang sampai saat ini masih tersimpan utuh dalam ingatan.

Alat tulis ketika itu sangat terbatas. Kami menggunakan alat tulis dari selempeng batu (yang disebut grepe). Belum ada buku tulis dan pensil. Ketika pelajaran berlangsung, di lempengan itulah  kami mencatat, setelah itu dihapus untuk mengerjakan latihan. Demikian seterusnya, berlangsung untuk setiap mata pelajaran pada hari itu.

Dengan alat tulis ini, kami dipaksakan untuk mendengarkan, dan berusaha untuk mengerti, bukan menghafal, karena lempengan itu harus bersih setiap kali memasuki pelajaran berikutnya. Jadi, tidak ada catatan buat dipelajari di rumah.

Siswa yang melanggar tatatertib sekolah diberi hukuman fisik yang tidak tanggung-tanggung. Bayangkan saja. Siswa yang terlambat masuk sekolah, dihukum berjalan dengan lulut dari halaman sekolah menuju ruang kelas. Jaraknya kurang lebih 10 meter, dan harus menaiki tangga di depan pintu kelas. Siswa yang alpa di hari kemarin, dihukum berlulut di dekat tiang bendera sambil tengadah ke atas memandang bendera selama 2 sampai 3 jam di bawah terik matahari.

Lain halnya ketika dalam proses pembelajaran di kelas. Kami secara bergiliran mengerjakan soal di depan kelas, mengerjakan soal Berhitung (sekarang Matematika) di papan tulis, papan yang lebar berkaki tiga. Beberapa teman saya yang, maaf, agak kurang nalarnya, sering menjadi tontonan menarik, sekaligus menegangkan. Ketika mereka tidak bisa mengerjakan soal, penggaris kayu yang besar dan panjang berkali-kali mendarat di paha dan betis. Kadang-kadang, karena ayunan penggaris yang cukup, teman saya tersungkur di atas papan tulis yang rubuh. Kami pun dihukum paksa memukulkan kepala ke meja dengan cukup keras secara pribadi atau secara bersama-sama manakala kami tidak bisa menjawab pertanyaan guru dengan tepat.

Ketika kelas V, saya mendapat dua tugas khusus dari guru kelas. Setiap pagi, selama musim hujan, saya harus membersihkan sepatu boot guru kelas yang penuh lumpur. Lima menit sebelum mulai pembelajaran, saya harus menyiapkan rotan, dari ranting pohon lamtoro yang sejak lama ditanam sebagai pagar sekolah.

Setiap hari pembelajaran diawali dengan tanya jawab untuk mengetes materi pembelajaran hari kemarin. Pertanyaan diberikan secara bergilir dari depan ke belakang. Siswa yang tidak bisa menjawab, rotan melayang ke punggung kami. Karena takutnya, kami berusaha untuk menahan rasa sakit, rasa perih.

Itulah pola pendidikan zaman dulu. Kekerasan terhadap siswa dibenarkan oleh pemerintah dan orangtua. Apabila sampailah informasi bahwa seorang siswa memar-memar atau berdarah karena dipukul guru sebagai hukuman atas suatu pelanggaran di sekolah, orangtua malahan memarahi bahkan ikut memukul anaknya di rumah.

Tampak bahwa pembelajaran kala itu terfokus di sekolah. Dengan pola pendidikan yang keras itu, kami, selama pembelajaran di kelas, dipaksakan untuk serius dan fokus pada penjelasan guru. Kami berusaha untuk memahami materi yang diajarkan. Kami harus aktif mengerjakan tugas-tugas secara mandiri maupun berkelompok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline