Suatu kesempatan, seorang bapak menemui saya. Sebut saja Pak Salamun. Pelipis sebelah kananya lebam. Agak malu-malu Pak Salamun membuka pembicaraan.
"Sebenarnya saya malu, Pak, menceritakan aib keluarga sendiri. Tapi, terpaksa saya beranikan diri menceritakan persoalan ke Bapak, karena saya yakin, Bapak dapat menolong saya."
Sekejap Pak Salamun terdiam.
"Begini Pak..."
"Ya, gak usah diteruskan. Saya sudah tahu."
Agak kaget, memang.
Persoalannya adalah Andi, anak Pak Salamun yang ketika itu duduk di bangku SMK memukul ayahnya sendiri. Sebuah bogem mentah mendarat ke pelipis kanan. Kejadian ini sebagai akumulasi kekecewaan Andi terhadap ayahnya.
Sudah kesekian kalinya Andi memaksa Pak Salamun untuk membelikannya sebuah sepeda motor. Dengan sepeda motor ini, ia dapat pergi-pulang sekolah dan bergaul dengan teman-teman tongkrongannya.
Bagi Pak Salamun, permintaan anaknya sangat memusingkan, bahkan selalu mengganggu pikirannya. Antara keprihatinan dan ketidakberdayaan. Karena sebagai tukang gorengan keliling kampung, ia tidak mampu membelikan anaknya sepeda motor.
"Sabar, Nak. Jika uang bapak sudah cukup, bapak akan kredit motor buatmu."