Kota Ramah Anak dan Fakta yang Ada
Kota ramah anak, kog seolah bombastis banget, ketika di lingkungan kita, terdekat, dalam keluarga, masyarakat terdekat, sekolah, dan aktivitas bermain itu sangat minim. Bagaimana bicara dunia anak itu adalah kebebasan, kemerdekaan, dan keleluasaan bermain dan eksplorasi diri.
Keamanan di jalanan. Bagaimana anak bisa lebih mandiri, ketika orang tua juga cemas melepas anaknya berangkat sekolah sendiri. Lihat di sekeliling, apakah ada jalan untuk pejalan kaki dengan aman? Bahu jalan yang biasa untuk anak berjalan kalau tidak habis, biasanya di jadikan parkir atau malah garasi.
Apalagi jika bicara di kota. Trotoar saja sudah tidak aman, kalau tidak dilewati motor, ada mobil, atau warung kaki lima. Bisa juga penuh dagangan dari pelapak di sana. Ini baru bicara keamanan untuk bisa ke sekolah dengan sangat nyaman, dan maunya juga aman.
Zonasi sekolah sebagai upaya menanggulangi jarak tempuh siswa dalam menuju sekolah juga belum menyelesaikan masalah. Lha dulu pas membangun tidak bicara soal jarak dengan keberadaan penduduk, cenderung jauh dari pemukiman, dengan asumsi harga tanah. Lihat saja, sekolah-sekolah terutama negeri, biasanya aksesnya susah. Paling ramah adalah motor.
Angkutan umum banyak yang tidak menjangkau sekolah-sekolah tersebut. Akhirnya motor menjadi paling realistis. Kalau sekolah dasar dan SMP antarjemput orang tua. Faktor tanggung jawab, kedewasaan, dan kemandirian tidak tercapai dalam dunia pendidikan. Tapi mau apalagi coba?
Favoritisasi sekolah. Suka atau tidak, zonasi sekolah mau menghapus sekolah favorit dan pinggiran. Seleksi tidak adil ala sekolah masa lalu, hendak diminimalisasi. Sekolah berdasar jarak itu mau mengurangi potensi sekolah favorit dan biasa. Ujung-ujungnya juga uang dan model suap untuk bisa masuk sekolah itu.
Mutu pendidikan menjadi rancu, bahkan rusak dengan model demikian. Kalangan kaya atau berada dan pinter berkumpul di sekolah tertentu. Keadaan yang kurang beruntung ada di sekolah-sekolah biasa, pinggiran, dan sangat mungkin tidak laku. Sekolah bagus itu bisa menambah ruang terus menerus. Bayangkan betapa bobroknya.
Itu pemilihan sekolah era dulu yang memang amburadul. Dampaknya bagi anak jelas. Bagaimana mereka bersaing untuk mengalahkan rekan-rekan sebayanya. Kadang ditambah dengan amunisi dri orang tua dengan kekayaan atau jabatan. Sekolah sudah menjadi ajang rimba liar siapa kuat dia dapat dan menang. Miris.
Dunia anak itu bermain dan bercanda bersama teman-temannya. Main sepeda, main layangan, main tali, petak umpet, atau bola plastik. Semua kini hampir sirna terutama di kota-kota. Ada lapangan futsal atau bulu tangkis, berbayar. Suasana bermain pasti beda, karena ada uang yang harus dihitung akhirnya menang kalah, karena yang kalah bayari misalnya. Unsur bermain, permainan, menjadi hilang.
Bersenang-senangnya berkurang, karena menjadi berkompetisi. Pokoknya harus menang, bagaimanapun caranya. Itu semua dulu tidak ada. Keberadaan ruang terbuka hijau makin sedikit. Lebih banyak cor dan beton di mana-mana. Watak keras menjadi terbentuk karena penglihatan terus menerus ini.