Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

People Power, 98, dan Amien Rais Perlu Ingat Ini

Diperbarui: 18 Juni 2023   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liputan6.com

Lagi dan lagi Amien Rais meneriakkan people power. Seolah pengulangan yang makin kehilangan makna. Pernah sukses di 98, seolah itulah satu-satunya cara. Ia meneriakan hal yang sama ketika pilpres 2019. Tidak ada gaung atau dampaknya sama sekali.

Kini di 23, menjelang 24, pilpres lagi, ia juga mendengungkan people power. Tekanan massa, publik, dan desakan untuk pemerintah agar mundur atau berganti. Hal yang sangat lumrah di negara manapun, ketika pemimpinnya adalah diktator, otoriter, dan penguasa yang tidak berkeadilan. Pasti bukan alam demokrasi.

Wajar ketika Amies Rais mengumandangkan itu tidak ada tanggapan seperti yang dia harapkan, sudah sekian hari tidak ada aksi yang cukup signifikan, selain heboh dan treding di media sosial. Artinya, lagi-lagi gagal sebagaimana tahun 2019.

Mengapa tidak terjadi tanggapan sebagaimana mestinya?

Perlu diingat, 98 itu, mahasiswa dan juga rakyat sudah jengah dengan perilaku penguasa Orba. Selain 32 tahun menjabat, seolah tidak ada anak negeri ini yang mampu, pemerintahannya dipenuhi dengan kolusi, korupsi, dan       nepotisme. Hal yang jelas membuat massa marah, jengkel, dan bergegas untuk turun ke jalan, apalagi didahului kekerasan.

Hal yang sangat berbeda, ketika kini, masyarakat tidak merasakan kejengkelan yang menumpuk. Malahan masyarakat merasa puas dengan kinerja pemerintah yang mencapai 80% lebih. Artinya, jika juga terjadi people power hanya akan ada kurang dari 20% yang akan ikut di dalamnya. Padahal di antara seperlima penduduk itu bisa jadi tidak menjawab atau ragu-ragu.

Jika terjadi yang seperlima itu turun ke jalan, sangat mungkin akan dibalas untuk kelompok yang lebih gede untuk tetap mempertahankan pemerintahan. Apakah ini  yang Amien Rais mau? Ada pertumpahan darah tidak penting, bahkan tidak berguna? Miris jika demikian.

Teriakan kecewa itu hanya elit, dan sebagian kecil kelas menengah yang terbiasa pesta pora dan kendang tarian itu dihentikan. Artinya, bukan people power namun elit power atau kepentingan elit yag menekan, bukan masyarakat yang memberikan tekanan. Wajar gayung tidak bersambut sama sekali.

Jauh berbeda dengan kisah 66 atau 98, dimana waktu itu pemerintahan sudah terlalu lama. Wajar masyarakat dan juga elit pengin ada suksesi. Ada aksi dan tanggapan yang saling membutuhkan antara rakyat dan elit yang  sudah jengah dengan kepemimpinan yang terlalu lama dan tidak banyak membawa perubahan.

Kini, malah banyak pihak yang mengupayakan tiga periode. Ingat, lepas dari persoalan UU, wacana ini cukup masif, berbeda dengan kisah masa lalu.  Dulu, hanya sgelintir elit yang mendapatkan keenakan membuat pemerintah untuk tetap bertahan, kini berbalik, yang mau mengubah, bahkan menjatuhkan itu elit yang tidak mendapatkan kue enak lagi, seperti waktu-waktu lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline