Pragmatisme SBY, Intoleransi, dan Elektabilitas Demokrat
Percobaan menerobos istana salah satu bukti aksi fundamentalisme beragama masih ada. tersiar pula khabar penelitian di mana guru intoleran dan penganut paham ultrakiri sangat besar. Hal yang selalu terulang, penyelesaian setengah hati, kadang juga dibiarkan menguap begitu saja.
Laporan NU dan Muhamadiyah, kolaborasi apik dua ormas terbesar di Indonesia pada tahun 2009, semua paham siapa presiden waktu itu bukan? Ilusi Negara Islam Indonesia, buku laporan kedua ormas itu menuliskan sangat rinci bagaimana IM-HTI-FPI itu merusak NU dan Muhamadiyah dengan sangat masif, terstruktur, dan cara yang sangat berbeda.
Nama-nama orang, tokoh, dan juga organisasi disebutkan dengan gamblang. Buku laporan 1000 halaman lebih itu dibairkan saja oleh presiden yang sekarang masih ngotot mengantar anaknya juga menjadi presiden. Publik perlu ingat, bagaimana partai mersi ini berbuat demi pundi-pundi pribadinya. Mengorbankan anak buah saja biasa, apalagi negara.
Pragmatisme SBY
Slogan seribu kawan kurang, satu lawan berlebihan itu seolah baik, bagus, dan keren. Namun, bagi seorang pemimpin itu adalah buruk, sangat buruk. Bagaimana ia bisa bertindak tegas, keras, dan pasti ketika pihak yang merongrong itu dianggap teman. Politik, tata negara itu bukan spiritualis. Beda tempat.
Perseteruan dengan JK ketika menjabat presiden dan wakil itu begitu besar, toh, ketika ada kepentingan yang sama, perlu Anies Baswedan yang adalah "anak" JK, ia mau bersama-sama, dan seolah sangat ngebet karena ini adalah kesempatan emas.
Demokrat itu bukan milik SBY, toh bisa dengan sangat licik atau bahasa kelas atasnya lihai ia ambil alih dan menjadi miliknya pribadi. Ketua umumnya ia serahkan pada anaknya. Posisi strategis dikuasai diri, anak-anaknya. Kader lain ngekos, ndompleng semata. Terlihat dengan jelas bagaimana pemikirannya tentang politik.
Proyek-proyek mangkrak yang ia tinggalkan malah dibalik seolah kesuksesan besar dan Jokowi tinggal potong pita. Ini jelas pembalikan fakta yang harus publik pahami. Benar, politik itu kepentingan dan kekuasaan.
Fokus publik pada politik identitas, namun jangan lupa juga politik membual seperti ini juga kudu disikapi dengan baik. Masyarakat pemilih harus ingat dan paham, bagaimana Demokrat menghasilkan elit korup, proyek mangkrak, dan subsidi BBM yang gila-gilaan. Aliran dana yang tidak jelas itu ke mana.