8 Tahun Menjadi Kompasianer, Konsistensi Kuncinya
Sampai lupa awal bulan lalu adalah saatnya sewindu berdinamika di Kompasiana. Waktu yang lumayan panjang, sebagai sebuah proses belajar. Awalnya dulu memiliki target setahun 500 artikel. Pada tahun ketujuh bisa mencapai 3000 tayangan. Mau dikatakan sebagai nyampah atau apa, itu hak yang menilai.
Proses panjang, bagaimana melihat dengan ngilu ketika satu demi satu rekan yang barengan memiliki akun sudah pada mendapatkan HL, contreng hijau, dan akun masih sama saja seperti waktu mendaftar. Sama juga ketika contreng biru, satu demi satu teman yang berangkat tahun 2014-an sudah mengenakannya, akun masih hijau juga.
Pun ketika satu demi satu nama seangkatan yang usai biru mendapatkan apresiasi menjadi nomine dalam ajang Kompasianival, boro-boro menjadi nomine juga, lha dikenal juga tidak, he...he...sama persis dengan tagline akun bukan siapa-siapa. Konkret bukan karena minder atau sombong, ini adalah faktual.
Tanpa ternyana-yana, eh mayan ketika dua tahun kemudian menjadi nomine untuk kategori Best of Opinion, dan bisa memenangkannya. Sama sekali tidak menyangka, lha menjadi nominasi saja kaget, apalagi menang. Itu kisah enam tahun lewat.
Dua tahun terakhir memang sudah tidak sesemangat tahun-tahun awal. Target 3000 tulisan dengan 3 juta pembaca seolah membuat semangat itu stag, tidak ada lagi gairah untuk tetap sama. Apalagi kini hanya mendapatkan dua digit pembaca, jadi makin enggan untuk berkreasi.
Apakah karena sepi pembaca terus enggan menulis? Enggak juga, namun kesibukan dan juga sudah mengelola web sendiri plus beberapa web keroyokan, membuat energi di Kompasiana jauh berkurang.
Mendapat apa saja sih selama sewindu berinteraksi di Kompasiana?
Kawan dan juga guru kehidupan. Begitu banyak nasihat, pelajaran, perhatian, dan juga persaudaran. Ada yang sempat berjumpa, ada yang hanya kenal via dunia maya, namun ketika mereka meninggal ikut merasakan kehilangan yang cukup mendalam. Beberapa nama yang memang kenal itu sudah berpulang.
Guru kehidupan dan juga menulis tentu saja. Begitu banyak pelajaran berharga, bagaimana memberikan tulisan yang bisa diterima lebih banyak kalangan, tanpa menghilangan jati diri itu penting. Protes karena tulisannya sangat pedas, keras, atau lugas tidak sedikit. Tetapi, bagi saya di mananya sih kerasnya itu? He..he...