Benarkah Sekolaah Berbasis Agama Menjamin Akhlak Anak?
Kemarin, mendengar bahasan mak-mak mengenai pendidikan anak. Si mak senior menyarankan si mak junior untuk memasukkan anaknya ke sekolah berbasis agama. Alasan dari yang senior adalah, bekal agama yang jauh lebih banyak sejak dini itu baik. Apakah demikian yang terjadi? Layak dicermati beberapa hal berikut.
Tentu tak hendak bmendiskreditkan sekolah berbasis agama, karena toh saya sekolah dengan basis agama lebih dari separo usia, sekolah agama juga lebih kurng sebelas tahun. Jadi, ini adalah sebuah upaya telisik secara universal dan mencoba obyektif.
Sebetulmya, secara esensial keliru jika pendidikan itu melatih ketrampilan, pengetahuan, dan bekal kemampuan pengetahuan umum, teknologi, namun malh dominasinya agama. Berbeda ketika pada sekolah tinggi, yang memang sudah penjurusan untuk bekal masa depan pesreta didik.
Pendidikan dasar dan awal itu harus jauh lebih luas dan terbuka atas semua kemungkinan ketrampilan, pengetahuan, dan menemukan potensi siswa untuk menjadi apa. Bakat, minat, dan potensi yang mereka punyai.
Kemampuan dasar yang tidak bisa diulang. Jangan kemudian malah sudah terfokus pada satu sisi, dan itu belum tentu tepat dengan talenta yang anak miliki. Pendidikan dasar jangan terlalu khusus dan sudah menjadi pilihan rigid.
Berbeda adalah, ketika pendidikan agama itu pada sekolah infomal, tambahan sore hari yang tidak terlalu kaku. Jauh lebih penting adalah akhlak, moralitas, dan karakter anak yang agamis.
Apa yang terjadi selama ini adalah, labeling agamis, istilah agamis, dan aktivitas agamis, namun perilakunya jauh dari ajaran agama. Perhatikan saja, bagaimana kekerasan seksual, kekerasan di kelas atau sekolah, juga terjadi pada sekolah-sekolah berbasis agama yang kental.
Apa yang terjadi itu karena agama masih sebatas atribut, ritual, dan tampilan luar atau semaata hafalan. Padahal jika bicara akhlak, moralitas, atau pedoman hidup, atau ajaran untuk jalan hidup harus lebih dari itu semua. Amalan, perilaku, dan perihidupnya berdasarkan dan bernafasan agama.
Tidak hanya pakaian atau kata-katanya yang kental agama, namun masih suka mangkir atas tanggung jawab, berbuat curang tanpa merasa bersalah, bahkan melakukan kekerasan seksualpun masih bisa menghindari tanggung jawab.
Padahal, paling dasar, mudah, dan sederhana perilaku orang taat beragama itu tanggung jawab atas perbuatannya. Lha kalau sebatas bertaanggung jawab, menanggung konsekuensi atas perbuatannya saja tidak berani, apa layak mengaku beragama atau saleh dalam beragama?