Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Penendang Sesajen, Ferdinand Hutahaean, dan Ujaran Kebencian...

Diperbarui: 12 Januari 2022   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesajen: detik.com

Maraknya ujaran kebencian, penistaan agama, dan juga  caci maki, karena adanya pihak-pihak yang sejatinya inferior namun berlagak superior. Layak dicermati ujaran ulama, yang mengatakan, melihat salib imannya goyah, mendengar lagu Natal imannya terganggu, itu masalah ada pada dirinya, bukan pada pihak lain. ( sedikit banyak demikian, aslinya lupa, nyari gak ketemu...}

Ferdinand menjadi pesakitan karena mengatakan tuhannya kuat dan tidak perlu dibela, beda dengan yang memiliki tuhan lemah sehingga perlu pembelaan. Respon polisi demikian cepat.tahan. Padahal dalam waktu yang relatif sama, ada Fahmi Herbal yang menyebut paling tidak dua ujaran ras dan juga kebencian.

Ia mengatakan bahwa nenek moyangnyalah yang mengajarkan pribumi Nusantara berpakaian, tidak bergelantungan atau hidup dalam gua. Jelas-jelas menyebut juga bangsa ini adalahg babi. Etnis lain ia ledek dengan hidung pesek yang susah menghirup udara, beda dengan mereka yang mancung.

Sebelumnya, ada penendang sajen yang ada di kawasan terdampak letusan Semeru. Apakah polisi sudah menangkapnya? Itu saol lain. Jauh lebih penting adalah, bagaimana sikap dan perilaku yang menjadi "korban."

Sikap tidak berlebihan itu menunjukan kekuatan dan kualitas batin dan kejiwaan yang menjadi obyek oleh pihak lain. Sebaliknya, ketika mereka menjadi korban sangat marah, mengumbar caci maki, mencari kambing hitam dan seterusnya.

Pembelaan diri yang berlebihan, kemudian mencari-cari pembenar dengan mengulik kesalahan pihak lain yang sudah lampau diulang-ulang. Ini soal sikap bertanggung jawab dan keberanian untuk menanggung risiko atas perbuatan dan atau perkataan.

Perbedaan adalah kodrati. Berasal dari Pencipta. Ada siang ada malam, ada pagi ada sore. Ada bapak ada mak. Ada orang tua, ada anak, bagaimana bisa orang memaksakan kehendak untuk sama. Ada beberapa hal yang layak dicermati bersama.

Pertama, kebiasaan kita seragam. Apa-apa seragam. Lihat saja anak sekolah, paguyuban, lembaga, dan semua hal pasti ada seragamnya. Sedikit  banyak ini mendidik kita untuk berpola yang sama. Seragam. Berbeda sebagai hal yang aneh dan kemudian berkembang menjadi salah  dan  layak menjadi musuh.

Berawal dari pakaian, beranjak menjadi pola hidup dengan  cara pandang yang kudu seragam dan sama. Berbeda itu salah dan layak diperangi.

Kedua.  Jiwa inferior. Menyembunyikan kekerdilan diri di tengah-tengah massa atau kelompok. Lihat saja mereka berani dan arogan kalau bersama dalam satu kelompok gede. Pas menjadi bagian yang kecil mereka menarik diri dan menjual derita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline