Perjuangan tim garuda sudah selesai untuk edisi AFF kali ini. Enam kali final dan juga enam kali kekalahan. Eforia usai membantai musuh abadi Malaysia, menyihir publik bahwa sudah pasti juara, apalagi menjadi juara grup dan mengalahkan posisi Vietnam, yang baru balik dari penyisian piala dunia.
Memiliki pelatih yang pernah menendang Jerman di kelas piala dunia menambah keyakinan publik final itu pasti sudah akan mudah. Ternyata kurang membawa dampak. Apalagi leg pertama dengan hancur lebur empat gol tanpa balas.
Layak dicermati mengapa tidak juara usai enam kali final
Pertama, mana bisa juara ketika kalah dipertandingan final. Kan kudu menang kalau mau juara. Seri saja tidak cukup, apalagi kalah telak dengan mengoleksi empat gol.
Ini jelas alasan yang paling masuk akal dan tidak bisa dibantah. Thailand layak juara karena memang sudah menang dengan agregat 6-2.
Kedua, mengalahkan Malaysia, seri dengan Vietnam dan menggusur Singapura untuk menjadi penonton itu belum seberapa. Mengapa? Itu belum final, baru penyisihan grup dan semi final. Menjadi juara itu yang menang di final.
Kemenangan gemilang di fase grup ya tidak bisa menjadikan juara. Mendingan terseok-seok dipenyisihan dan gagah di final, bukan sebaliknya.
Ketiga, manjurnya doa dan harapan publik secara bawah sadar. Begitu banyak fans yang sudah pesimis dengan laju timnas Indonesia. Sudah terlalu biasa merajalela di babak-babak awal dan loyo di fase penentuan.
Sama dengan poin dua di atas. Percuma.
Keempat. Fokus penonton dan pendukung garis keras adalah juara. Mungkin berbeda dengan federasi, bisa jadi mereka tidak peduli juara, yang penting uang. Pun tim pelatih sangat terbuka kemungkinan ini hanya ajang antara.