Cukup menarik keriuhan pernyataan di antara tiga elit dan sekaligus politikus negeri ini. Reputasi mereka tidak bisa diragukankan. Ketiganya pernah menjadi menteri pada era masing-masing.
Gelar akademik juga jelas dan pasti. Rekam jejak mereka juga sangat panjang di tengah perpolitikan negeri ini.
Ada yang pernah menjadi presiden, ada yang mau dan ngebet jadi calon, sayang tidak dapat tiket, ada pula yang nyaris saja, detik akhir ada yang menggantikan posisinya.
Berarti ketiganya cukup setara. Mereka juga petinggi partai masing-masing, ada yang sudah tidak lagi, namun ada pula yang masih kokoh di dalam partainya.
Kini, berkaitan dengan 24, mereka bertiga masuk dalam pusaran pantun berbalas. Cukup hangat dan menjadi sangat menarik karena mereka hanya saling jawab via media.
SBY-Yusril
SBY berkicau lewat media sosial, dengan inti masalah, bahwa hukum bisa dibeli, tapi tidak dengan keadilan. Tanpa lama, elit Demokrat mengatakan Yusril memilih Moeldoko karena meminta fee, bayaran, yang cukup tidak masuk akal, kemahalan.
Alasan menyatakan mahal, karena posisi AHY yang potensial menang. Nah, menarik jika berkaca dari pernyataan via media sosial SBY. Bagaimana mengatakan hukum bisa dibeli, dan kemudian mengatakan karena potensi menang, beaya tidak semahal itu.
Ingat, fee itu sah sebagai sebuah jasa atas profesi. Besarannya tentu sesuai kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak. Apa maksudnya potensi menang sehingga tidak perlu semahal itu?
Masih berlanjut ketika berbicara mengenai etika. Lha di pasar itu ada orang menawar dagangan kemudian tidak ada kesepakatan, jadilah dengan pihak lain, kebetulan itu rival atau mantanlah. Apa si pedagang kemudian tidak beretika?
Jika Pak Beye mengatakan, hukum bisa dibeli, apakah ini pengalaman, asumsi, atau tudingan? Menarik karena toh ia pernah 10 tahun menjadi presiden. Atau baru terjadi hari ini, masa pemerintahan Jokowi hal itu terjadi?