Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Jokowi, Bipet, dan Politisasi Bipang

Diperbarui: 8 Mei 2021   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi, Bipet,  dan Politisasi Bipang

Susah memang jadi Jokowi. Mengapa? Bangsa ini sudah cukup lama ada dalam sebuah kondisi hidup keakuan, bukan kebangsaan. Yang paling banyak merasa lebih benar dan harus mendapatkan prioritas. Sedikit trsentuh ngamuk, tetapi sangat biasa kalau mengggampar sekalipun.

Apalagi, memang banyak petualang politik yang mati kutu, ketika pemerintahan Jokowi. Nah mereka ini, ada pada tikungan untuk menanti Jokowi terpeleset. Kondisi baik-baik saja, akan dibuat untuk tergelincir. Bagusnya, Jokowi tidak pernah memberikan porsi yang membuat bara itu makin gede.

Sikap diamnya, atau membawa dalam canda mengubah keadaan. Berbeda jika ditanggapi dengan serius, politikus bermain dengan lebih bergairah. Ketika tidak direspons, orang jadi malas untuk memperpanjang. Sama juga dengan orang memprovokasi.

Lha salahnya apa babi panggang coba? Haram kan bagi sebagian masyarakat. Toh  bangsa ini tidak semua tidak makan babi. Presiden itu bukan hanya untuk satu golongan saja. Berbeda jika, ayo rayakan Lebaran dengan beli bipang, itu edan.

Kan konteksnya tidak usah mudik, yang kangen gudeg, bipang, bisa beli online. Susah sih memang bicara konteks, ketika orang memang sukanya rusuh dan mengedit-edit.

Babi sedang tren memang. Usai babi ngepet, kini babi panggang. Lucu, aneh, dan naifnya itu barang yang sepele namun dibesar-besarkan. Siapa lagi kalau bukan politikus yang membuatnya. Politikus yang kehilangan panggung dan mau mendapatkan kesempatan.

Ini jelas pendidikan politik yang sangat buruk, ketika elit politik yang bermain.  Memalukan sebenarnya.

Masyarakat, harus belajar untuk tahu konteks, sehingga tidak mempermalukan diri dan bangsa. Seperti kemarin, ada pemberitaan di China, pengusaha terkaya itu peternak babi. Walah komentar dan caci maki, moralis ala Indonesia. Lha apa hubungannya coba?

Waktu yang lampau juga, ada pasangan sejenis menikah, di Thailand. Lagi-lagi moralis ala netizen bergolak. Reaksi si mempelai yang mau menuntut bisa berbuntut panjang.

Masalah pegiat media sosial bangsa ini memang  pelik. Terlalu cepat memainkan jari, dari pada otak dan hati. Contoh yang mirip mengenai pesakitan karena komentar buruk soal kapal selam yang tenggelam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline