Netizen Paling Tidak Sopan dan Polisi Siber
Tidak ada sangkut pautnya sebenarnya. Namun dua hal yang saling menunjang ini hadir pada saat yang hampir barengan. Warganet atau netizen Indonesia memang "liar, buas, dan barbar". Apalagi jika bicara rival politik. Jangan harap bisa sopan.
Beberapa hal layak dicermati,
Satu, tingkah elit yang memberikan contoh. Kata-kata kasar, makian, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia dengan mudah terlontar. Cek saja, apalagi ketika berbicara mengenai politik dan ideologi.
Ini bukan soal pendidikan dan taraf ekonomi. Tetapi ungkapan dan pelampiasan perasaan yang berlebihan. Miris, jika kalangan elit pun demikian. Cek saja sendiri dengan mudah. Apa sudah lupa, kata lonte pada saat pengajian oleh imam besar pula?
Dua, konteks kadang becanda. Contoh, grup bonsai, ada yang bertanya serius, namun jawabnaya becanda. Pohon waru namun disebut sebagai pohon terong. Konteks jelas becanda, tetapi sangat mungkin bagi orang asing itu adalah pelecehan, tidak sopan.
Memang ada yang marah dengan model demikian. Toh banyak yang menilai itu sebagai sarana kebersamaan.
Tiga, Barat menilai pelecehan, di sini biasa saja. Contoh memanggil orang dengan bagian tubuh, misalnya gendut, gembul, item, jliteng. Ini jelas sudah pelecehan dan tidak sopan bagi budaya lain.
Empat, karena abai etika. Lha orang tidak mau tahu etika memang. Lihat saja asu, lonte, babi, tai, dan sebagainya terlontar, bahkan ada ulama yang kata-kata itu sebagai bagian dari pengajiannya. Ini memang masalah.
Kehadiran polisi siber memang baik dan mendukung. Sepanjang bisa tegas pada semua pihak, tidak tebang pilih. Lihat saja selama ini. Ujaran kebencian begitu telanjang ada di mana-mana. Melaju dengan tenang karena ada tameng agama.
Hrapan tetap harus digelorakan. Tetapi masih juga ragu, kala model pendekatan kita masih sama saja. Kalau tidak hangat-hangat tahi ayam. Mirisnya tebang pilih.