Kali ini setuju dengan fatwa MUI, buzzer itu haram. Entah mengapa tiba-tiba menggeliat lagi istilah buzzer dan ramai-ramai meminta untuk ditertibkan bahkan ada yang meminta dibinasakan. Boleh-boleh saja, tetapi terminologi mana dulu yang hendak dipakai untuk menertibkan, membinasakan, atau apapun namanya itu. Pemantik keriuhan ini adalah pernyataan Kwik Kian Gie dan kemudian dipanaskan oleh permintaan Presiden Jokowi.
Apa yang menjadi persoalan berikutnya adalah siapa yang menjadi sasaran dan yang mau disebut buzzer itu dulu dengan tepat dan pasti. Begitu banyak ragam aktivitas menggunakan media sosial. Ada yang memang membutuhkan gaungan, atau dengungan untuk mendapatkan pasar. Contoh, pelaku media sosial biasa meminta pihak lain untuk mengikuti dan membagikan status, tayangan, atau karya mereka. Nah model ini apa ya termasuk harus dibinasakan?
Atau model lain, demi sosialisasi sebuah produk, gagasan, atau karya kemudian dibagikan ke mana-mana melalui media sosial, apakah ini juga yang termasuk perlu dibina dan dibinasakan? Begitu beragamnya model buzzer atau influenser di dunia digital ini.
Mengikuti perbuzzeran beberapa waktu ini, makin aneh, lucu, dan naif. Terutama hari-hari ini, juga berkaitan dengan permintaan presiden soal kritik. Ini satu frame di dalam pembicaraan dan ujungnya ada fatwa ini.
JK dalam acara PKS menyatakan, bagaimana mengritik pemerintah tanpa ditangakap polisi. Hal yang sangat sederhana, tunjukan satu saja yang mengkritik pemerintah dan kemudian ditangkap. Ingat, kritik, bukan cacian, apalagi makian. Bedakan dulu. Kritik itu berdasar dan tanpa pretensi untuk menjatuhkan.
Tudingan kriminalisasi ulama, kalau mau jernih dan jujur benar demikian, atau malah kebalik, mengulamakan kriminal. Ingat ini bicara sikap orang bukan agama. Lha membekan bonyok ditonjok dan oplas saja tidak paham, kabur dianggap ibadah, mau apa lagi. Jadi wajjar orang bekerja dianggap ngedrama, yang tidak apa-apa diberi puja karena penghargaan semu.
Tiba-tiba berduyun-duyun rombongan yang menuding buzzer itu perlu ditertibkan, dibinasakan, dan dibersihkan. Termasuk Dewan Pers. Soal buzzer seperti apa sepertinya mereka sendiri tidak paham. Apakah semua pembela pemerintah itu buzzer, atau malah para pembagi link dan membagikan video namun dengan diedit, dipotong, dan isi link itu cacian, makian, atau fitnah, yang perlu dibenahi?
Terminologi yang sangat sumir. Apalagi jika yang bicara adalah dewan pers. Bagaimana sikap mereka menghadapi media arus utama. Tempo dengan agitasi soal "permusuhan" pada Jokowi, ingat bukan presiden, namun personal, bahkan kini merambah Gibran. Buzzer akan mati dengan sendirinya jika pers sudah berjalan dengan semestinya, yakinlah.
Buzzer timbul karena aksi dari framing media. Jajaran di bawah presiden gagap yang kemudian menjadika militansi pegiat media sosial bergerak. Apakah mereka mendapatkan subsidi pulsa untuk mengawal, membela, bahkan menepis serangan buzzer pihak yang berseberangan? Lebih banyak tidak. Jika memang ada yang bayaran ya silakan saja dibina.
Sedikit berbeda, namun masih masuk dalam koridor dewan pers, bagaimana pewarta media arus utama namun menayangkan bahasan yang tidak patut. Hanya menghapus artikel dan selesai. Bandingkan jika itu adalah Kompasianer, label dicopot, artikel dibredel, bisa-bisa akun dibekukan. Mosok kalah dengan admin Kompasiana sih Dewan Pers.
Saya tidak bisa membayangkan menayangkan tulisan ala Detik soal Nora itu di Kompasiana, apa ya lolos dan tayang, kalau tayang apa ya tidak kemudian didelete. Ada dua minimal, soal private, dan kedua soal kebenaran isii artikel.