Natal Itu Spesial
Selamat Natal
Spesial Natal terutama bagi kami, yang hidup sendirian di dalam kampung yang pesantren saja ada lima. Toh semua baik-baik saja. Ini yang membuat jadi unik dan lebih menarik. sempat pada kisaran 2015 ada polisi datang dan mengira kami mau mengadakan perayaan Natal di rumah. Aneh dan lucu, mana bisa Katolik misa sendiri.
Toh di luar itu ada yang menarik dan sangat mengsan bagiku, ketika di luar kota, atau luar pulau. Sekian lama pernah tidak Natalan di rumah, jadi kerasa dan tahu bedanya. Memang bukan perayaannya yang berbeda, namun dalam bersikap dan saling berinteraksi.
Kami jadi seolah Natalan dan Lebaran selalu merayakan. Kala masih kecil juga termasuk pakaian baru dan asesoris anak-anak lain. Bebersih lingkungan secara khusus, mewarnai bukan cat tetapi labur, jadi mewarnai rumah juga dua kali. Sama-sama semarak, makanan pun juga identik.
Ada opor ayam dengan ketupat. Ini jelas ikut radisi Lebaran. Sepele sebenarnya, Orang tua itu relatif muda, kala itu masih banyak sesepuh yang perlu diberi punjungan, jadi uba rampe Lebaran selalu ada untuk munjung sesepuh yang tentu saja semua adalah Muslim.
Konsep ini juga terbawa ketika Natal. Suasana semarak, kemeriahan anak-anak biar sama dengan teman mainnya, dibuatlah menu yang sama. Natal ya sama dengan Lebaran.
Ketika orang tua beranjak senja, tiap Lebaran dapat pisungsung dari keluarga-keluarga muda. Nah demi "membalas" apa yang sudah diterima, akhirnya ketika Natal juga mengadakan apa yang pernah diterima.
Jenang, atau dodol. Ini haduh ribet banget buatnya. Dulu, kala masa susah dan belum mesin masuk kampung. Malam sebelumnya sudah meredam beras ketan dan pagi-pag ditumbuk dan kemudian diayak. Mengupas kelapa untuk esuk pagi diparut dan dijadikan santan dan nantinya dijadikan minyak untuk menggoreng gula dan tepung.
Kerja keras benar. Tradisi ini berhenti 98, terakhir membuat jenang itu, sudah banyak penjual dan relatif terjangkau dari pada zaman-zaman sebelumnya. Kini ganti membeli. Pasar tersedia dan tidak demikian mahal.
Aktivitas sibuk secara fisik dan rupa kemeriahan jasmani, kadang melenakan yang esensial dan rohani. Lebih cenderung membangun konteks kebersamaan dengan tetangga dan sesama. Tentu saja ini tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar.