Ferdinand Hutahaean dan Napak Tilas Ruhut Sitompul
Dua ekspunggawa Demokrat ini memiliki kemiripan satu sama lain. Langkah dan laku mereka juga sama. Jelas Ferdinand yang yunior mengekor atau napak tilas laku dari Ruhut Sitompul. Hampir semua hal identik dilakukan. Bagusnya lagi adalah mereka keluar ketika berbeda sikap dengan partainya. Berbeda dengan politikus lain.
Masih layak ditunggu muara masa depan Ferdinand Hutahaean ini apakah akan juga sama dengan Ruhut Sitompul yang masuk kandang banteng moncong putih. Hal yang sangat normal di dalam berpolitik, apalagi cara berpolitik kita yang masih seperti ini.
Ruhut Sitompul dulu ada kader Demokrat yang sangat memuja SBY. Ia mengaku memang anjing penjaga Demokrat dan SBY. Kini berbeda. Sikapnya yang berbeda di dalam mendukung calon presiden sebagai alasan ia tidak aktif di partai mercy itu dan kemudian menyatakan diri keluar.
Alasan publik yang ia nyatakan adalah soal pencalonan AHY, yang ia pandang bukan kader partai dan pengalamannya masih terlalu minim. Berbeda jika Ibas yang dimajukan, alasan yang logis, soal lain tentu sangat juga mungkin terjadi.
Pembelaannya pada Jokowi dan Ahok sangat berbeda dengan arus partai secara umum. Pilihan yang aneh dan lucu memang. Tetapi toh demikian adanya.
Kini Ferdinand Hutahaean juga melakukan hal yang sama. Dukungan dan pernyataan yang lebih memberikan pembenaran pada pemerintah, yang sering itu berseberangan dengan sikap partai Demokrat secara umum dan sikap pribadi-pribadi elitnya. Pilihan yang tentu saja normal, apalagi ketika ia menyatakan mundur dan tidak di dalam naungan partai besutan SBY tersebut.
Dua sikap yang layak diapresiasi, di tengah model berpolitik main banyak kaki. Terutama ala Gerindra sebagaimana perilaku Fadli Zon. Tidak heran Ferdinand menantang Fadli Zon mundur dari dewan dan menjadi anggota FPI sekalian. Perilaku meludahi periuk nasi yang masih banyak dianggap baik-baik saja oleh sebagian elit negeri ini.
Ranah kepantasan, etika, moral, dan spiritualitas cenderung rendah. Berani memutuskan keluar partai dan kadang juga jabatan yang memberikan banyak keuntungan, apalagi jika anggota dewan, masih belum ada. Sering menjadi alasan adalah AD ART, UU, atau bahkan UUD. Prosedural menjadi penyakit banyak elit dan politikus kita. Korupsi, di penjara, masih saja dilantik menjadi kepala daerah. Masih menerima gaji sekian bulan sebelum berkeputusan tetap, karena upaya mbulet mereka.
Getol bicara agama, apapun kaitkan dengan agama, tetapi perilakunya jauh dari tuntutan dan tuntunan agama. Malah cenderung bar-bar, ketika menafsirkan UU atau peraturan seenak udelnya sendiri. Layanan hukum juga produk politik, hasil dewan yang sama ngaconya karena memang kualitasnya sangat rendah.
Orang mencari aman, aman finansial, hak-hak khusus yang melekat sebagai anggota parpol, anggota dewan, yang sangat mungkin bisa nyambi menjadi apa saja. Nah model ini tentu saja susah untuk dilepaskan. Hal-hal yang melekat, enak, nyaman, aman, dan tentu saja bisa mengantar ke mana saja eman kalau ditinggalkan.