Genitnya Oposan Menanggapi Kemungkinan Reshuffle Kabinet
Beberapa waktu lalu, presiden memberikan sebuah sentilan bagi kinerja para menteri. Sikap dan penyerapan anggaran dalam kondisi pandemi yang cenderung tidak sesuai harapan. Raami-ramai media dan media sosial menggunakan kata marah bagi presiden. Lha memangnya presiden tidak boleh marah, jika anak buahnya tidak bekerja dengan baik?
Lucu dan aneh sebenarnya, mengapa orang dan juga media berlomba menyajikan presiden atau Jokowi marah? Malah tidak memberikan warta kemarahan itu mengapa. Toh bisa paham dengan kondisi kekinian dengan berbagai isu dan celah untuk menjatuhkan wibawa pemerintah.
Secara politis, langsung orang dan parpol berlomba untuk unjuk gigi, merasa layak, pantas, dan menampilkan citra baik untuk bisa masuk pada kabinet. Makin lucu partai pengusung dan pendukung pemerintah malah adem ayem, eh oposan pada genit dan merasa seolah-olah pasti ada reshuffle atau diajak serta. Tapi namanya ngarep dan pengin sih bebas to ya....
Parpol pengusung dan pendukung adem ayem. Sangat tidak mungkin presiden tidak berbicara kepada ketua umum partai politik yang mengusungnya dalam pilpres. Semua tentu ada tata krama, etika, dan kepatutan. Itu yang tampaknya terjalin dengan baik selama ini. kecenderungan harmonis dan tidak ada yang aneh-aneh. Lucu malah yang di luar pada caper dan seolah gadis yang melihat cowok sedang jomlo.
Tanpa perlu membahas para ngarepwan dengan label relawan. Lha ngarep jabatan dan kursi kog ngaku relawan, itu namanya ngarepwan. Itu tidak usah diulas wong sudah jelas.
PKS. Entah ini pancingan pewarta yang memang menggoda, sempat terlontar kalau PKS tidak mau masuk kabinet. Lha iyalah, tidak tertarik, wong tidak ada yang menawarkan. Lucu saja respons cepat seolah ada yang mau mengajak. Mengapa kecenderungan sengaja PKS dialienasikan?
Satu, mereka selalu ngotot menolak Pancasila. Aneh dan lucu memang, enggan mengakui Pancasila namun tetap ikut dan hidup dalam alam Pancasila. Entah model macam apa pola mereka ini.
Dua, dulu, awal-awal presiden PKS dijabat Sohibul Imam, kisaran 2015, mereka sudah mencoba mendekat ke istana. Mengekor ala PAN dan ternyata tidak ada sambutan yang cukup untuk bergabung.
Tiga, mereka ini termasuk lebih ugal-ugalan dalam menjadi oposan dibandingkan Gerindra periode lalu. Apalagi sekarang karena hanya mereka yang memiliki cukup keberanian untuk oposan dan waton sulaya.
Empat, setiap isu melengserkan presiden, ada saja oknum PKS yang ikut atau meramaikan. Lha kondisi seperti ini tentu tidak layak untuk masuk dalam kabinet.