Menginjak Ranjau ala Novel Baswedan
Ketika tuntutan jaksa itu hanya setahun, orang beramai-ramai memberikan dukungan pada Novel Baswedan. Berseliweran candaan soal tak sengaja sebagaimana kata jaksa mengenai perilaku pelemparan asam sulfat itu. Kuat dugaan dukungan itu karena rendahnya tuntutan dengan keberadaan kondisi fisik Novel yang cacat permanen itu. Tidak setimpal dengan tuntutan hukuman yang dinyatakan jaksa.
Pokoknya jaksa keterlaluan sehingga hanya menuntut dengan serendah itu. Itu hak siapa saja untuk berargumen mau rendah atau sudah setimpal, atau berlebihan. Toh juga bukan ahli hukum yang menyatakan itu. Malah lucu itu, tidak setimpal dengan masa pencarian, TPF, bahkan ganti presiden dan kapolri baru ada titik terang. Eh hukumannya hanya seumur kebo bunting.
Kini malah melebar ke mana-mana, ketika Novel Baswedan bersikap berlebihan, karena langsung cenderung menyerang dan menyudutkan Jokowi. Hal yang lumrah sebenarnya ketika kini, era seperti ini, toh Jokowi sudah sama dengan minuman ringan, salawi itu ujungnya. Mengalahkan ujung-ujungnya doit kini. Pernyataan ini yang membawa ke mana-mana masalah air keras ini.
Tuntutan itu ringan, namanya netijen di sini memang kreatif dan mahabenar, menguliklah siapa jaksa ini. Asumsi, sekadar asumsi, bahwa ternyata jejak digital jaksa adalah "fans" 212 dan berdiri pada posisi berseberangan soal kasus Ahok. Lagi-lagi asumsi, bahwa jaksa ditengarai adalah bagian dari jaksa yang sudah masuk angin soal radikalis.
Ada sebuah komentar dalam media sosial, jaksa penuntut umum itu tidak sendirian di dalam tuntutan itu. Konon katanya sampai ke tingkat jaksa agung harus tahu. Itu soal birokrasi yang idealnya demikian. Kemungkinan pokok tanda tangan setuju tanpa tahu substansi toh bisa juga terjadi. Asumsi. Sangat mungkin.
Pernyataan Novel yang menyasar presiden ini seolah malah bahan peledak yang disulut sumbunya. Satu demi satu malah kembali menguak masa lalu Novel sendiri. Jangan kemudian menuding ini adalah buzzer rupiah pula. Aneh dan lucu ketika pernyataan itu di balik banyak orang yang kemudian meradang dan menuding sebagai buzzer istana. Lucu saja.
Keadilan yang dinyatakan oleh Novel, benar, bagus, dan memang harus demikian. Nah ketika hal yang sama juga dinyatakan untuk dirinya ketika diduga adalah juga pelaku ketidakadilan pada dugaan maling sarang walet? Ingat ini juga masih pro dan kontra. Mau mengatakan kurang bukti dan sudah kadaluwarsa kasusnya, toh keluarga juga boleh dong menuntuk Jokowi untuk membela mereka.
Ingat Novel Baswedan masih kasarnya hidup, bekerja, naik pangkat, dan juga kini malah seolah mendikte presiden. bayangkan si terduga maling yang telah maaf tewas itu, mungkin meninggalkan keluarga, siapa yang bertanggung jawab atas mereka? Apa mereka juga teriak menuntut presiden, mungkin keterbatasan akses saja mereka diam. Toh mereka juga menderita.
Bicara keadilan lho, bukan soal hukum positif yang konon ada batas waktunya. Jika memang benar tidak menjadi pelaku "ketidakadilan", bagaiaman pernyataan mantan anak buahnya yang mengaku dipukul karena dinilai tidak loyal pada atasan. Ini sedikit banyak linier dengan pengakuan para pelaku penyiraman. Ingat ini pun masih pro-kontra. Kejanggalan demi kejanggalan ada di sana. Plus lamanya kasus ini terkatung-katung jadi banyak hal yang sangat mungkin terlupakan.
Menuntut keadilan dan menyeret Presiden Jokowi segala bagus, ketika juga dirinya berani bersikap yang sama. Jangan ketika merasa menjadi korban teriak paling keras sebagai pihak yang paling menderita, namun abai dengan realitas yang selama ini dan mungkin pernah menjadi pelaku. Ini ironisnya. Malah menyeret dia ke sana ke mari.