Belajar dari Djamester Simarmata dan Rizal Ramli serta LBP Membangun Bangsa
Oposan itu mungkin dan tidak salah atau buruk. Bagus demi kinerja pemerintah yang berjalan dengan semestinya. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang berjiwa besar, obyektif, dan tentunya mau berbuat baik bagi bangsa dan negara.
Kemarin, dunia maya dan media riuh rendah dengan pernyataan Rizal Ramli yang merasa undangan untuknya dari LBP terlambat. Apa yang terjadi dengan kisah itu berbeda dengan apa yang LBP ungkapkan berkaitan dengan Djamaster Simarmata. Pertemuan itu bisa terjadi dan itulah panggung akademik bertemu dengan birokrat.
Beberapa hal menarik bisa dilihat dan dicermati dengan lebih dalam lagi kedua akademisi dengan dua sikap yang berbeda.
Djamaster Simarmata cenderung lebih menjiwai sebagai akademisi, orang yang bertekun dalam dunia pendidikan yang tetap dengan jalur itu. Melihat persoalan jelas secara ilmiah, kesalahan, kekeliruan, dan juga kebenaran ada dasar dengan pertimbangan teoritis dan analisis ilmiah. Hal yang berangkat dari kerangka pikir profesi dan aktivitasnya.
Nah bertemu dengan LBP sebagai seorang menteri, menko pula, pemain politik sekaligus birokrat itu jauh lebih luas dari sekadar akademisi. Tentu tidak berarti akademisi itu buruk, sempit, atau salah. Sama sekali tidak. Namun kadang abai kesulitan, melupakan adanya kendala politis, dan juga ribet dengan halangan dari kepentingan nama baik, partai, atau adanya orang besar yang ada di balik sebuah kasus, atau kejadia ekonomi.
Hal-hal yang sangat mungkin tidak akan diperhatikan, bahkan sangat mungkin bagi orang ekonomi seperti ahli atau akademisi itu bukan sebuah kendala berarti. Berbeda ketika masuk pada sisi politik, yang sangat mungkin berimbas pada sisi keamanan, sosial, dan tentu politik itu sendiri.
Masukan, kritik, dan tukar pikiran itu sangat mungkin membuat peluang solusi baru ketemu. Ketika itu terjadi dengan sama-sama berpikiran demi bangsa dan negara, jauh lebih baik dan penting serta itu sebuah keharusan. Tidak ada yang merasa lebih pinter dan mau menang-menangan. Piihan menang-menang yang terjadi itu adalah kualitas.
Rizal Ramli
Susah mengatakan ini lepas kepentingan. Jauh lebih beraroma politik dari sekadar ekonomi, apalagi jika bicara asumsi dan drama yang ada. Mulai dari tuntutan mundur dan berhenti mengritik, kemudian soal jadwal yang mendadak, dan tidak adanya koordinasi terlebih dahulu. Sangat wajar ketika sikap Rizal Ramli berbeda dengan Djamaster Simarmata. Berangkatnya saja sudah berbeda, dan apa yang terjadi juga berbeda.
Aroma politik dengan pilihan menang-kalah. Siapa yang menjadi penentu jika demikian? apakah perlu panelis, yang berarti juga lebih gede dari LBH dan juga RR jika demikian? Mosok presiden harus menjadi penilai atas "diskusi" mereka? Atau siapa yang bisa diyakini obyektif untuk menjadi penentu mereka?