7 Kesulitan Jadi Tommy Soeharto
Megawatie pernah menjadi presiden, AHY pernah mencoba untuk ikut di dalam kontestasi itu, putera Habibie jauh dari hiruk pikuk politik praktis, kini Tommy putera Soeharo tampaknya mau ikut-ikutan. Sejatinya sejak 2019 sudah begitu jelas mau apa. Sayang partainya hanya menjadi penggembira, dan dirinya yang mencalonkan diri menjadi anggota dewan lewat Papua pun tidak cukup suara.
Kini, di waktu-waktu ini, begitu masif isu-isu komunis yang biasanya heboh pada kisaran September maju pada bulan Mei. Konon peringatan seabad PKI, lha entah benar atau hanya akal-akalan. Tahunya ada peringatan ultah juga karena pandemi ini. Tahun-tahun lalu juga tidak ada dengungan model ini. Apakah September akan menjadi gede, tidak, sudah kehabisan momentum yang dipaksakan.
Keterlibatan Tommy dalam narasi komunis sedikit banyak cukup berarti. Minimal kolaborasi orang-orang yang selama ini ditengarai ada dalam lingkaran mereka. Wajar sih namanya mencari panggung, mendapatkan atau mengais-ngais simpati publik yang sudah tidak ada sama sekali sebenarnya.
Berangkat dari hal-hal itu, terlihat bagaimana kesulitan Tommy. Berikut ulasannya;
Satu, posisi anak Soeharto itu dilematis. Ada satu sisi menguntungkan karena siapa yang bisa membantah soal harta dan jaringan Soeharto masih demikian kuat. Benar Tommy masih bisa berbuat ini dan itu dengan segala narasi yang dipikirkan dan dikembangkan oleh orang-orang terdekat dan kepercayaannya. Mungkin juga berdampak dalam kondisi perpolitikan nasional.
Toh, tidak menjamin Tommy sebagai pribadi ataupun pelaku politik mendapatkan keuntungan. Sangat mungkin banyak orang yang menjadi kepercayaan itu semata hanya mau uangnya, soal hasil Tommy jadi apa tidak menjadi pertimbangan mereka.
Dua, reputasi Tommy lebih dikenal sebagai mantan napi. Ini tidak bisa dibersihkan sama sekali. Kriminal pembunuh, bukan napol yang bernilai jual tinggi. Sama sekali tidak pernah ada perbaikan jati diri yang coreng moreng ini. Malah sering diingatkan oleh kubu lain dan tanpa ada bantahan atau klarifikasi dari orang-orang mereka. Ini jelas upaya yang makin mementahkan posisi Tommy dalam kancah politik.
Tiga, keberadaan Tommy sebagai anak mami, manja, kolokan, doyan pesta-pesta sekian lamanya tidak pernah bersentuhan dengan politik praktis, susah memberikan bukti ia mampu menjadi pemimpin dalam banyak levelnya. Pengusaha pun susah meyakini ia sukses, sangat mungkin ia adalah pemodal semata dan pelakunya pihak profesional. Tanpa adanya embel-embel peguasa negeri juga belum tentu mampu.
Pembuktian ia sukses sebagai pengusaha, bisa melakukan banyak hal tanpa bapaknya, mungkin bisa membantunya naik dalam pembicaraan nasional. Selama ini perbincangan mengenai pribadinya adalah semua tentang masa lalu. Masa kini hanya soal isu komunis saja, apanya yang mau dijadikan rujukan dan keyakinan untuk menjadikannya pemimpin?
Empat, Soeharto ahli strategi militer yang memang digembleng pengalaman dan pendidikan. Tommy ini kan hanya ikut pola Soeharto dengan dukungan orang-orang yang kesetiaannya pun tidak bisa dijamin. Mereka hanya dekat karena uang, bukan yang lain. Sama sekali tidak ada pembenahan masa lalu Tommy kog, hanya membuat isu-isu semata.