Mau Menikahi Kaum Berjubah, Baca Dulu Ini
Kemarin dalam sebuah obrolan grub rekan-rekan mantan berjubah, ada bekas pastor, frater, dan bruder, jadi jelas kaum berjubah ini ya, ada yang cukup menggelitik. Saya tidak terlibat karena kaitan dengan istri dan keluhan para istri mereka. Mau yang senior, lha mengenakan jubah saja saya masih usia satu tahun, atau yang masih junior mengatakan hal-hal yang identik.
Istri-istri mereka cenderung mengeluhkan kalau pasangannya itu kolot, ngeyelan, kaku, dan mau menang sendiri, egois, dan menuntut kesempurnaan. Seorang senior mengatakan, istrinya pernah dalam pertemuan mengeluhkan jangan-jangan suami mereka mau kembali jadi pastor. Rekan senior ini kemudian mengatakan waduh, siapa tahu para istri ini menderita dan tidak ada saluran untuk mengakui, mengatakan, dan menyadari bahwa itu sebuah penderitaan.
Jadi mikir, kondisi itu hampir selalu terjadi dalam pernikahan bekas ataupun kaum berjubah. Tidak heran banyak keluarga mereka tidak berakhir bahagia. Beberapa hal bisa menjadi penyebab.
Pertama, pendidikan kaum berjubah itu jelas untuk sendiri, mandiri, dan tidak dipersiapkan untuk berdua, dan berkeluarga. Selibat yang menjadi fokus pendidikan, nah jika itu telah dihayati lima hingga belasan tahun bisa dibayangkan. Apalagi jika sudah menjadi imam. Tentu tidak selalu dan semua, dominannya ada gesekan dan keluhan sebagaimana awal tulisan.
Pendidikan yang membentuk dan menjadi karakter ini susah diubah. Cinta itu menjadi relatif, mungkin pas masa pendekatan karakter bentukan sekian lama itu masih belum tampil sebagaimana mestinya dan mendominasi kehidupannya. Ketika menginjak pernikahan dan perkawinan apalagi sekian tahun, semua menjadi berbeda.
Kedua ketika pendekatan, hal-hal baik, pengetahuan, pendekatan, dan aneka bentuk perbedaan dari orang biasa itu sangat menjanjikan. Jangan kaget ibu-ibu muda, tante-tante saja suka, apalagi gadis-gadis. Ini juga karena hasil pendidikan lho, jangan mengeluhkan yang buruk, padahal pada awalnya sangat menyenangkan. Nyaman, tenang itu pada awal, mengapa berubah setelah sekian lama? Ini yang perlu dijadikan bahan dalam pendampingan perkawinan.
Tidak ada yang berubah sebenarnya, hanya pengenalan, dan penghayatan atas sikap pasangan. Sama saja kog, mengapa bisa berlainan ketika sudah merasa tidak lagi "baru"? Yang menyamankan itu kini hilang.
Ketiga, jangan-jangan dulunya adalah semata kebanggaan bisa "menggoda" dan mendapatkan kaum berjubah. Ini fakta lho, banyak pengakuan demikian, jangan merasa pelecehan. Serius dan jika demikian, muara kecewa, menyesal kog ya sama saja, eh malah menikahi orang keras kepala sangat mungkin terjadi.
Keempat, jika bukan kebanggaan karena "berbeda", mungkin berangkat dari curhatan. Bisa kedua boleh pihak yang memiliki kepentingan dalam berbagi itu. Awalnyanya nyaman, bisa saling meneguhkan, dan ada yang sampai pada pernikahan. Belum tentu pada mulanya mau menjalin relasi eksklusif dalam sebuah perkawinan. Nah ini juga bisa menjadi persoalan.
Kelima, seorang rekan memiliki suami mantan berjubah. Katanya, kalau ke gereja harus duduk di depan sendiri, satu jam sebelumya sudah duduk dan berdoa di gereja. Tentu saja istrinya tidak bisa menolak, tetapi terpaksa mengikuti saja kehendaknya. Lama-lama kawan ini mengatakan banyak alasan untuk bisa terhindar dari doa yang sangat panjang itu. Pola hidup di biara tapi diterapkan di dalam keluarga.