Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Delapan (8) Kepantasan Bermedia Sosial juga di Kompasiana

Diperbarui: 15 Mei 2020   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pagi-pagi Suhu Rudy seorang praktisi Shamballa menghubungi, banyak hal yang dikisahkan. Salah satu yang paling menarik adalah pengalaman berdinamika di Kompasiana. Sharing and connecting yang sangat mengesan, sehingga diterapkan pula di dalam bermedia sosial. Kadang miris melihat bagaimana media sosial dianggap barang umum, sehingga begitu saja, lupa tatakrama, etika, dan bagaimana pantasnya.

Benar namanya media sosial itu publik, namanya juga sosial. Siapa saja bisa mau apa saja. Bebas, toh kepatutan menjadi terbaikan, karena tergantung masing-masing pribadi, pendidikan, pengalaman, dna pemahaman. Kadang menjadi ribet, karena orang per orang memiliki landasan, pemikiran, dan juga keputusan berbeda-beda.

Toh ada, yang secara umum akan bisa ditarik dalam sebuah kepentingan umum yang sama. Sederhana sebenarnya bagaimana baiknya berinteraksi dalam media sosial itu.

Pertama, terapkan pada diri sendiri, jika itu jengkel, berarti jangan lakukan. Ketika kita  sedang menerima perlakuan demikian, ya berarti perlu pula dikerjakan. Sering timbul masalah adalah ketika model pokoke menjadi andalan. Contoh, tanpa ada jempol, hati, atau tawa, tetapi yang membagikan begitu banyak.

Sama juga sudah mengambil tidak izin, tanpa terima kasih pula. Ya memang ada yang mempersilakan demikian saja untuk membagikan, tetapi mbok ya ada unggah-ungguhe. Apalagi artikel di Kompasiana. Asal ada nama dan tempat menuliskannya sudah cukup. Benar itu aturan baku dalam menuliskan suber tulisan. Kan lebih baik lagi jika dalam kolom kometar misalnya bilang.

Terkadang mereka yang mengambil itu mendapat uang, ada reward yang mereka terima lho. Lha mosok hanya menuliskan izin share saja berat. Ini tabiat yang sebenarnya perlu disadari untuk dibenahi.

Kedua. Namanya media sosial, termasuk bagian itu adalah Kompasiana. Menjalin relasi, komunikasi, bukan seperti penulis koran, yang hanya menulis kemudian ditinggal. Kecuali Anda itu kaliber Pak Jokowi, Pak JK, Pak Yusril, atau Bu Sri Mulyani. 

Kalau masih orang biasa, yo saling kunjung, saling komentar, atau ngevote. Kemarin saya mengajak Kner Agung Subejo untuk mulai berkomentar dan berinterak. Saya kenal dengan baik, makanya saya berani menyarankan hal dengan lugas. Kakak tingkat kuliah, yang memang kenal cukup lama.

Ketiga, media sosial itu bersikap terbuka. Nah  keterbukaan itu juga perlu yang namanya tata krama, misalnya, ikut menikmati artikel, apalagi jika itu berupa PDF, film, atau yang lainnya. Komentar singkat, bagus, ikut menyimpan, yang memiliki lapak pasti senang. Ini soal patut dan tidak. 

Sama juga ada mangga yang berada di halaman. Dipetik atau dilempat batu sih sama-sama rasanya. Wong tahu  yang memiliki ada, mbok ya pamit, izin, pasti boleh, meski dongkol, jarang yang akan menolak dimintai.

Keempat, media sosial, kata sosial itu dari kata Latin, socius, artinya teman. Nah ketika berteman kog isinya hanya mencaci maki, untuk apa coba? Secara harafiah saja sudah salah. Makin lumayan bagus sekarang Kompasiana jauh berkurang tukang caci maki. Lha sudah mencaci maki tulisan, masih nitip link pula. Sama juga melempari rumah orang tapi masih ambil air di sana. Tanpa mematikan kran lagi. Mangkel tidak jika demikian? Syukur pemilik tabiat demikian sudah lama tidak eksis lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline