Benarkah Kompasiana Makin Sepi?
Beberapa kali, dalam waktu yang relatif berdekatan, banyak ungkapan Kompasiana makin sepi. Satunya mengambil dasar dari sedikitnya interaksi pada media sosial yang ia yakini memberikan fakta dan alasan simpulan, mengenai sepi. Dulu, katanya banyak banget respon baik Kner ataupun bukan. Wajar saja sebagai sebuah bahan analisis.
Beberapa waktu lampau, ada yang rerasan, kalau tulisannya sepi pembaca. Kners tersebut tidak menyalahkan diri, Kners lain, atau apa, hanya merasa bahwa ia memang kurang membangun kebersamaan demi sebuah kunjungan balasan. Ini memang hal yang mendasar dalam sebuah blog, termasuk Kompasiana.
Eh tiba-tiba Kners cukup senior, biru, langganan HL pula, juga rerasan jika tulisannya sepi. Hemat saya bukan mengeluh dengan membandingkan soal Kim Jong Un, tulisannya dengan rekan Kners lain, sangat jomplang. Memang beda kanal, politik yang jelas sangat ngehits, dan kanal lain yang sepi. Memang bukan membandingkan, bahwa tulisan akan menemukan pasarnya sendiri.
Dulu, selalu akan begini, karena ini soal perbandingan. Hampir setiap artikel diambil oleh situs lain. ketikan judul atau nama pasti akan keluar dua judul di Kompasiana dan situs lain. Cukup lama demikian, lama-lama malas. Ada yang lucu, menjawab artikel saya di blog pribadinya, judulnya pun Menjawab Susyharyawan, lha siapa yang tahu coba??
Kemarin genap 2600 artikel tayang di Kompasiana. Syukur tanpa sekalipun saya menghapus tayangan hanya karena sepi pembaca, tidak menjadi artikel pilihan, atau karena salah data. Bersyukur karena tidak tergoda untuk mengabdi hits, label, atau status. Apalagi soal data yang tidak salah, bisa fatal. Tentu bukan meledek atau merendahkan kalau hits rendah dihapus sebagai pengabdi hits, itu adalah jerih lelah atas upaya menulis.
Menulis itu melelahkan, wong menuangkan ide, gagasan, dan mengetik membutuhkan banyak energi dan paket data. Kemudian hanya dua digit ya jadi sedih atau kecewa ya wajar. Apalagi melihat ada capaian sampai empat dan lima digit. Siapa sih yang tidak suka dan senang? Wajar lah jika pengin asal tidak iri dan kemudian patah arang dan enggan mencoba lagi.
Beberapa rekan yang bergelut dengan kanal tertentu juga rerasan yang sama. Sepi, jadi tidak semangat. Lingkungan, hijau, dan olah raga pun demikian. Berkali-kali menulis kanal selain politik menembus dua digit saja ngos-ngosan. Dalam beberapa kondisi politik pun tiga digit itu sampai seharian penuh.
Saya sadar, enam tahun dengan 2600 artikel memang bukan lagi eranya. Waktunya menulis, menulis, dan menulis. Semua itu bonus, ada hits yang tinggi, label mau pilihan apalagi artikel utama itu hanya bonus yang sudah tidak banyak berharap. Kembali menjadikan tulisan akan menemukan muaranya.
Kemarin, ada yang mengomentari jika bukan saya, tidak akan ada yang berani menulis yang demikian. Lhah jadi mikir benaran apa ya? Kemudian bertanya pada Kners yang masih baru, apa memang terlalu keras, dijawab, ya memang. Masih perlu meyakinkan lagi, bertanya pada rekan yang menurut saya belum pernah membaca Kompasiana. Ia berkomentar, agak keras, belum keras, masih bisa keras lagi, dengan bahasa yang halus, tidak masalah.
Saya menulis sepanjang ada dalam media arus utama, bisa dipercaya kebenarannya, dan kemudian dirangkai dengan logika yang lurus, mengapa tidak? Logika lurus, data cukup, bukan fitnah ataupun hoax, tetap tuliskan. Itu semua perlu waktu dan susah membaca dan memperkirakan akan seperti apa.