Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Hanafi Rais, "Perseteruan" Politik Keluarga dan Sejarah Bangsa

Diperbarui: 6 Mei 2020   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejatinya politik dinasti itu tidak ada salahnya. Sepanjang menggunakan kekuatan sendiri di dalam menapaki tangga dan perjalanan berpolitik. Negara-negara besar pun demikian. Memiliki sejarah dan memberikan peluang kepada anak, cucu, keponakan, atau siapapun berpolitik. Asal itu semua ditapaki dengan karir politik yang jelas. Reputasi kerabat, atau nama besar ya mau tidak mau ikut membantu.

Kan kasihan, karena kakeknya atau bapaknya memiliki darah politik, kemudian anak atau cucunya seolah pendosa jika berpolitik. Alam demokrasi tidak demikian. Ingat, asal dengan cara-cara demokratis. Ada jenjang dan tahap-tahap yang perlu dilalui. Itu semua adalah proses, tidak kemudian mengandalkan darah itu untuk memotong kompas dan jalur berkompetisi dengan pihak lain.

Masalah itu, ketika jenjang karir, kaderisasi, atau jabatan diperoleh dengan menggunakan kacabele, koneksi, dan menggusur kesempatan sesama kader yang lebih potensial hanya karena kedekatan kekerabatan. Jelas sisi  keadilan dan kesamaan untuk berjuang dan berpeluang untuk apa saja tidak tercapai. Di sini masalahnya, bukan soal darahnya.

Sukarno dan Keturunannya

Anak-anak Sukarno dengan menyandang nama besar leluhur memang bisa mendapatkan kepercayaan publik. Itu tidak bisa menjadi bahan iri atau dengki. Ya itu namanya rezeki. Pernah dalam sebuah kurun waktu itu menjadi kutukan, sehingga sangat susah untuk sekadar kuliah. Lihat saja bagaimana perlakuan Orba terhadap mereka. Ketika kini, cucunya setelah puterinya bisa berbuat banyak, itu hal yang masih normal.

Toh, memilukan  juga, ketika politik ini pun membawa perpecahan. Paling tidak antara Rahma dan Mega, dulu Sukma pun seolah menjadi oposan, bahkan bagi sang kakak. Apa coba yang bisa diperoleh dengan rupa demikian. toh itu fakta yang terjadi.

Syukur bahwa Soeharto memiliki anak yang lebih solid di dalam membanngun politik. Kegagalan yang memang karena kemampuan. Asyik dengan bisnis dan sejak awal tidak dibina untuk berpolitik, membuat mereka gagap. Ikut pemilu punsekadar menjadi bahan candaan. Dikeliling dana yang tak terbatas toh tidak cukup membawa mereka bisa sekadar numpang nama.

Mungkin, karena kesamaan kepentingan, belum juga masuk pada kalangan elit politik, atau bahkan masuk pada kekuasaan, mereka masih akur dan satu suara dalam perjuangan politik. Belum cukup banyak kiprah mereka.

Yudhoyono. Dua anak dan masih cukup terkendali oleh sang ayah. Tipikal anak-anaknya pun sangat patuh. Didikan ketat membuat tidak banyak ulah dan kreatifitas bagi keduanya. Seiring sejalan seperti anak TK yang bergandengan tangan berangkat sekolah. Satu ketum, satunya wakil. Sudah mau apa lagi.

Langkah dan perilaku mereka bukan sebagai pribadi dewasa, namun laku anak-anak di bawah kendali bapak yang masih begitu dominan. Kurang kreatif dan memiliki pemikiran sendiri. Sangat wajar sih dengan model dan pendekatan SBY dan almarhum Ibu Ani.

Daerah juga memiliki reputasi klan dan politik dinasti. Toh masih juga banyak yang memilih dan percaya, padahal banyak kekacauan ditimbulkan. Miris sebenarnya, ketika bukan kebaikan, prestasi, namun sebatas sensasi dan malah korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline