Pendidikan yang Memerdekakan, Belajar dari Rektor Menerima Bansos, dan Ibu Miskin Menolaknya
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Kondisi yang berbeda dengan adanya pandemi yang sedang terjadi. Semangat dan roh pendidikan jangan sampai terlupakan. Begitu banyak hal yang bisa kita pelajari ketika menghadapi kondisi luar biasa ini. Orang sangat terlihat keasliannya, otentitasnya ketika keadaan sangat terpojok, mirip waktu ini.
Bansos sedang dan akan dibagikan. Data kacau atau ngaco memang sudah tradisi. Mau birokrasi, mau koneksi, atau apapun namanya, masih saja seperti era-era lampau. Ada beberapa ilustrasi bagus, dan itu juga berkaitan dengan soal pendidikan secara langsung. Aplikasi atas pembelajaran.
Tetangga, masih muda, usia awal 30-an, anak dua masih sangat kecil, masih PUAD, dan belum sekolah. Cukup ringan tanggungannya. Pekerjaan maish berjalan sebagai satuan keamanan pabrik yang masih beroperasi. Istrinya membuka warung jajanan, yang cukup ramai untuk duduk-duduk anak muda, ngopi sambil jaga jalan.
Rumah permanen, mobil ada, sepeda motor lebih dari dua, dan orang tuanya masih menjadi TKI di Timur Tengah, kedua-duanya. Secara ekonomi aman, pagi-pagi cerita dengan bangga kepada pamannya yang bekerja sebagai pemulung. Listrik gratis dan masih akan mendapatkan Rp. 600.000,00 lagi. Pamannya ini tidak mendapatkan apa-apa, padahal semua barang dagangan turun harga dan malah ada yang tidak laku, sepi pembelian.
Kisah kedua. Rektor yang menampilkan menerima bantuan. Tidak perlu berpanjang lebar, karena bisa ke mana saja muaranya. Reputasi dan pemikirannya juga sudah tahu. Yang jelas ini soal pantas atau tidak.
Kisah ketiga, seorang ibu keluarga prasejahtera di Alor menolak mengambil bantuan sosial, menolak pula ketika diantarkan ke rumahnya. Tuhan memberikan 10 jari untuk berusaha. Saya menolak makan yang gratis. Sikap luar biasa. Bagaimana ia yang jelas-jelas membutuhkan namun enggan untuk menerima. Mengambil saja ogah, pas diantar masih sikap yang sama. Salut.
Pendidikan yang Memerdekakan
Bagaimana pendidikan kita masih berkutat pada banyaknya materi, bahan yang harus dikuasai, dihafal malahan, bukan untuk membawa kepada kehidupan. Bansos ini mempertontonkan bagaimana pendidikan tidak membawa kepada hidup yang hakiki. Kepeduliaan tidak ada. Malah cenderung egoisme yang tertanam.
Data bisa salah, atau memang dibuat salah. Ketika sikap mental kita sendiri benar, memiliki rasa malu, tentunya akan menolak atau memberikannya kepada yang jauh lebih membutuhkan. Tidak untuk mendeskreditkan atau mempermalukan pihak lain. Ini soal kredibilitas bukan soal birokrasi. Kesalahan iitu diperbaiki bukan malah menjadi ajang caci maki. Pendidikan berperan.